We All Burn Sometimes" Mereka sudah melihat Snitchnya, Nat!""So, why?" tanya Nathaniel seraya memandang pertandingan dengan acuh, kedua lengannya terlipat di dada. Ngapain sih ia disini? Kurang kerjaan. Anak lelaki berambut hitam itu meringis saat gadis di sampingnya memukul-mukul lengan kanannya bertubi-tubi seraya terpekik riang, disusul gemuruh yang secara tiba-tiba membahana di seluruh penjuru lapangan, memekakkan telinga. Kenapa sih?
"Gryffindor menang, Nat! Gryffindor menang!" seru Amanda, membuat kepala Nat mengangguk mengerti. Gryffindor menang? Bagus. Dan lihat siapa pihak yang kalah? Double bagus. Seringai bersarang di wajahnya, menandakan kepuasan tingkat tinggi. Hadir pada sebuah pertandingan Quidditch sama sekali bukan kehendaknya--tentu saja--bahkan ia tak mungkin akan datang jika Amanda tak memaksa. Namun jika disuguhi kemenangan menyenangkan seperti ini, ia tak menolak. Kedua hazel kecokelatan miliknya memicing--melakukan pemberontakan terhadap sinar matahari, berusaha melihat tribun kebesaran para suporter asrama ular. Terdiam, eh, kawan-kawan Slytherin? Oke, oke, cukup, mungkin ia sudah keterlaluan. Tak baik mengumbar kepuasan terlalu berlebihan, juga menyulut persaingan terlalu dalam. Ia menoleh, menatap sepupunya dengan heran. "Hei, Amanda. Yang menang itu singa, bukan elang," ucapnya singkat. Mengapa gadis itu turut senang?
"Ck ck, seharusnya aku yang berkata begitu, Nat. Bergembiralah sedikit. Aku senang karena Gryffindor adalah asramamu. Jangan bilang kau belum mengerti." Begitu. Nat hanya mengangkat bahu ketika mendengar alasan sang sepupu. Sungguh, ia tak terlalu peduli. Quidditch adalah Quidditch. Bukan sepakbola.
JembatanEuforia selalu membuat seorang Nathaniel sakit kepala. Langkah tenangnya bertemu dengan rerumputan di sepanjang jalan setapak menuju kastil, kedua tangan dalam saku celana. Kini pemuda cilik itu sendirian, Amanda menghilang dengan temannya entah kemana. Ia mengacak rambut hitamnya, sedikit merasa bersyukur karena dapat meloloskan diri dari kebisingan luar biasa yang menyelimuti lapangan Quidditch, menebar kebahagiaan bagi para punggawa Gryffindor--termasuk dirinya,
seharusnya--namun yang terjadi adalah virus migrainlah yang tersebar dan menjangkiti kepala sebelah kirinya. Duh. Nat menepuk-nepuk kepalanya perlahan, kemudian menekan pelipisnya berkali-kali, berharap rasa pening yang mampir bisa cepat pergi. Aneh sekali. Sebelum berangkat ke lapangan dirinya baik-baik saja. Ayolah, akhir term bukan saat yang tepat untuk sakit.
Selama beberapa detik dirinya tertegun saat menyadari jemari telapak tangan kanannya--yang masih berada di dalam saku--menyentuh sesuatu. Eh? Nat merogoh saku, mengeluarkan apapun itu yang tanpa disadari telah menghuni saku celananya sejak tadi. Apa yang--well, ternyata. Di dalam genggamannya kini bertengger sebuah kotak hitam, pemberian Dad empat bulan lalu. Kotak hitam Snitch miliknya. Sejak kapan benda itu berada disana? Nat melanjutkan langkahnya yang terhenti, kembali berjalan terseok, tak mau ambil pusing dengan berusaha menemukan jawaban. Tangan kanannya membuka kotak secara perlahan, sinar matahari terpantul dengan sempurna ketika menimpa sang Snitch yang mendekam tak bergerak di kediaman kayunya. Snitch emas ini tak pernah berani Nat lepaskan--bagaimana cara menemukannya jika benda tersebut telah terbang bebas? Nat bakal angkat tangan jika itu terjadi.
Ngomong-ngomong soal Snitch, bukankah benda itu yang berhasil ditangkap oleh Senior Ziegmowit sehingga suporter Gryffindor secara serentak menyorakkan kegembiraan karena hal tersebut turut menasbihkan asramanya sebagai pemenang? Menang hanya dengan menangkap bola kecil itu? Yang benar saja. Terkadang ia tak mengerti dengan Quidditch--lebih tepatnya tak mengerti dengan teman-temannya yang amat menggilai olahraga kebanggaan dunia sihir tersebut. Apanya yang menarik sih? Tolong beritahu dia faktor apa yang menjadikan Quidditch lebih menyenangkan dari sepakbola--
"AAAW! Sakit sakit sakiiit! Siapa sih, kurang aj--AH! SENIOR HARVARTH?? WADUH, ADA SENIOR BAU JUGA TER--Eh, maksudku, SENIOR ZIEGMOWIT???" Terlonjak kaget, kotak di tangan Nat terlontar, bergulir di lantai jembatan menuju kaki seseorang berada. Ia mengerang, sekali lagi menekan kepalanya yang berdenyut semakin keras, mata kecokelatannya mencari tahu siapa yang memancing gara-gara dengan berteriak tanpa kontrol. Dan tebak siapa yang ia temukan? Marvil. Lagi-lagi dalam posisi terjatuh. Astaga, gadis ini...
Totally careless.
Sama persis dengan peristiwa di kelas Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam beberapa saat yang lalu, kali ini Nat pun mengulurkan tangan sembari menghela nafas dan berkata, "Ceroboh. Butuh bantuan?" Gadis Slytherin yang satu ini benar-benar mencengangkan. Setelah memastikan Marvil tak apa-apa, ia mengalihkan pandangan, menegakkan tubuh dan menyadari bahwa jembatan tak dapat dikatakan sepi. Senior Baned, Senior Ziegmowit dan Senior Harvarth--kalau tidak salah--telah hadir, masing-masing membawa sapu. Masa bodohlah. Ia hanya ingin pergi ke kastil, tidur untuk menghilangkan rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi.
Nat menyambar kotak Snitchnya yang berada di samping kaki senior lelaki satu-satunya, melempar senyuman singkat kepada semua orang yang berada disana, sebelum kembali beranjak--dan terhenyak. Kotak Snitchnya
kosong.
Labels: Gladstone, We All Burn Sometimes