Transfigurasi - Kelas 2Perbedaan antara dua buah hal ada kalanya terlihat jelas, seperti menatap ke arah suatu peristiwa di balik kaca transparan. Kekontrasannya amat terasa. Amanda menggigit bibir bawahnya, dengan cemas mengamati setiap gerakan yang tercipta saat Larry secara perlahan mengangkat si cangkir
monster dari atas kepalanya. Tenang sangat. Bagaikan mengangkat seekor hamster jinak-lucu, bukannya sebuah makhluk bergigi taring dan berkaki empat berbentuk setengah cangkir. Tanpa ekspresi pula. Dalam situasi seperti ini, harus gadis itu akui, Larry punya tingkat ketenangan yang luar biasa--amat bertolak belakang dengan reaksinya, panik seperti anak kecil. Bikin malu saja kau, Amanda.
"Amanda--apa kegunaan cangkir yang seperti ini? Dijamin tidak ada orang yang mau memakainya," ucap Larry seraya menyodorkan cangkir jadi-jadian itu kepadanya. Amanda berjengit, cepat-cepat menggelengkan kepala dan memberi gesture dengan tangan agar anak laki-laki di sebelahnya meletakkan makhluk tersebut di atas meja--meja Profesor McGonagall maksudnya--tidak, tidak, bercanda. Ia yakin sahabatnya mengerti, karena detik berikutnya helaan nafas lega keluar dari mulut Amanda. Aman, monster itu sudah terkurung di dalam sangkar. Sangkar? Tidak pas kedengarannya. Err... Kerangkeng? Terlalu ekstrem. Fine,
kandang.
Well, tentu saja tidak akan ada orang waras yang bersedia menggunakan cangkir mengerikan seperti itu--kecuali dunia benar-benar dalam krisis moneter dan Inggris jatuh miskin sampai ke dasar, dan tak tersisa satupun penjual cangkir akibat bencana kelaparan sementara cangkir-cangkir yang dimiliki telah dijual untuk menghidupi--astaga, imajinasimu sungguh tak dapat dipercaya berlebihannya, Amanda. Oke, intinya benda yang kini menggeram pada cangkir Larry tersebut memang harus segera diperbaiki, agar tak terjadi sesuatu yang lebih buruk dan nilai Dreadful tidak nampang di samping tulisan Transfigurasi di dalam buku nilai miliknya. Ia tersenyum simpul saat melihat anak laki-laki di sampingnya membungkuk dan mengambilkan tongkat Eldernya yang baru ia sadari terjatuh. Amanda hendak mengucapkan terima kasih, namun urung, gerakan mulutnya terhenti ketika sang sahabat melontarkan pertanyaan,
"Bukankah beberapa manusia juga seperti itu, eh?" Mulut gadis cilik itu kembali terkatup, sepasang alisnya secara samar merapatkan diri satu sama lain. What does "itu" mean?
Selama beberapa saat ia terdiam, merenungkan apa sebenarnya yang berusaha diungkapkan Larry--oh ya. Jika benaknya tak salah berprediksi, kata "itu" masih berkaitan dengan kalimat Larry sebelumnya. Benar atau tidaknya bukan masalah. Coba jawab saja. "Apakah maksudmu beberapa orang terkadang tak 'berguna', eh, Larry?" ia balik bertanya, tebak-tebak berhadiah. "Aku setuju," lanjutnya, "well, satu hal yang perlu kau ketahui. Bagiku, kau bukan salah satu dari beberapa orang itu. Sama sekali bukan." Ya, tentu saja. Amanda kembali menghela nafas, kedua manik kecokelatannya membuat keputusan untuk mengalihkan pandangan dari sahabatnya, kini menatap cangkir oh-my-god miliknya dengan tatapan nelangsa. Huft, seogah apapun dirinya, ia tetap harus bertanggung jawab untuk mengembalikan atau mengubah benda itu menjadi sesuatu yang semestinya.
Hold your breath, Amanda. Just do it.Dengan enggan ia membuka pintu kandang, menjulurkan tangan... yeah, dapat. Dan selamat. Amanda mengangkat sang cangkir dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk kanannya, merentangkan lengan jauh-jauh ke depan, ngeri saat melihat monster itu mengatupkan gigi-gigi runcingnya, menimbulkan bunyi yang benar-benar membuat bulu kuduk meremang. Ia berdeham, mengangguk, mencoba meyakinkan diri sendiri. Pasti. Bisa. Yang ia perlukan hanya konsentrasi. Konsentrasi. Matanya memicing, berusaha untuk fokus secara total. Tangan kirinya meraih tongkat Eldernya, sementara tangan yang satunya secara perlahan mulai bergerak turun, meletakkan cangkir tersebut di atas meja--fine, cepat sebelum benda itu kabur lagi... "Vera Verto!" Hasilnya? Amanda tertawa puas bercampur lega. Memuaskan. Di hadapannya kini berdiri dengan angkuh sebuah cangkir sempurna, yang uniknya, memiliki relief bergerigi di sepanjang porselennya, seakan ingin mengabadikan gigi-gigi taring yang pernah mampir disana.
Berhasil. Amanda nyengir gembira pada Larry, sedikit tak percaya--ya ampun, lupa. Cengiran di wajahnya bertransformasi seketika, menjadi tatapan cemas. "Apakah kau terluka?" tanyanya, amat berharap jawabannya tidak. Jangan salahkan jika ia khawatir. Tentu saja, bodoh. Pertama, Larry adalah sahabat terbaiknya. Kedua, yang melompat ke atas kepala pemuda itu adalah cangkir setengah tikus milik
nya, amat wajar apabila ia cemas, rite? Tidak ada lowongan untuk protes atau bantahan. Refleks, tangan kanannya bergerak ke atas, mengacak rambut sahabatnya. Kebiasaan. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Kali ini senyumanlah yang terukir. Mau tahu sesuatu? Mungkin berlebihan dan sepihak, terserah, yang pasti--seorang Jonathan L. Baned lebih dari berharga untuknya. No doubt.
Labels: Kelas Transfigurasi, Steinhart