Thursday, April 9, 2009

This Is My Promise to You-#2

God, telapak tangannya berkeringat, kalau kau mau tahu.

Amanda menyeka bulir peluh yang mengalir perlahan dari pelipisnya dengan lengan kanan T-shirt hitamnya. Panas. Sore ini matahari begitu dermawan, curahan sinar keemasan menyerbu tanpa ampun, tak mengenal waktu. Siang hari musim panas di Inggris memang berlangsung lebih lama dari biasanya, memberikan sensasi menusuk di kulit, udara yang kering membiarkan para kepulan debu memperbanyak diri, terbang terbawa angin dan hinggap dimana-mana. Hawa yang benar-benar tak mendukung situasi dimana ia terjebak tanpa bisa mundur lagi. Terlanjur datang kemari, telah mengambil tempat duduk pula.

Gadis tiga belas tahun itu menatap senior di hadapannya dengan gugup, menelan ludah sekali, sementara kedua kakinya bergerak-gerak gelisah. Wajah datar itu. Ck. Ia sama sekali tak mengenal seorang Jason A. McKay--well, yeah, tidak cukup kenal, maksudnya--namun dari kesan pertama yang ia tangkap, tak dapat diragukan lagi pemuda itu bukan salah satu orang yang namanya tercantum dalam daftar 'makhluk dengan tingkat keramahan di atas rata-rata'. Sorot matanya itu selalu membuat Amanda menahan nafas, dan harus ia akui kini jantungnya tengah berdentum keras dengan tempo abstrak, seakan diberi percepatan tak tetap di setiap detik yang bergulir. Ada apa sebenarnya, eh? Cepatlah. Situasi seperti ini sungguh membuat perutnya kram.

Kerutan terbentuk samar di dahi Amanda saat melihat senior McKay mengerling arlojinya, tersenyum tipis--he, benarkah? Mustahil, ia pasti salah lihat--kemudian melepas sang arloji perak dalam satu gerakan. Kini kerutan yang terpampang di kening menjadi berlipat ganda, sepasang alis Amanda hampir bertemu. Lihat, kan. Apa maksudnya sih, menyodorkan arloji tiba-tiba--
"Kau...--"
senior itu mulai membuka suara, terhenti sejenak saat tangannya meraih salah satu gelas butterbeer di meja, meneguknya, kemudian meletakkan benda itu kembali ke atas meja, sedikit terlalu keras. Amanda tersentak, nafasnya lagi-lagi tertahan. Gawat, pemuda ini benar-benar tak mampu melakukan sesuatu yang menyenangkan, sikapnya selalu menghadirkan perasaan ketar-ketir.

"... terlambat..." Serius? Terdiam, Amanda melirik jam yang disodorkan di atas meja, mencari tahu kemana kedua jarum menunjuk. Setengah lima. Setengah lima? Ia tercengang, sedikit tak percaya. Sudah jam segitu? Fine, salahnya karena tak memeriksa jam lagi sebelum berangkat ke tempat ini. Ayolah, apakah kau tak tahu bahwa ia merasakan dilema yang tak biasa saat berada di rumah, ditambah pula dengan pikiran-pikiran negatif akan apa yang bakal terjadi dalam pertemuan ganjil itu? Tidak sempat lihat jam lagi, tahu. Well, ia yakin seratus persen bahwa senior McKay tak akan mau mendengar sepatah kata pun alasan mengapa ia terlambat. So, berarti satu hal. Minta maaf. Sayangnya begitu.

"A--aku... tidak... err--maaf," gumamnya, sedikit tergagap. Ya, ia akui ia salah. Amanda merutuki dirinya sendiri, mempertanyakan dalam hati mengapa kerongkongannya terasa tercekat sekarang, telapak tangannya basah dan ia berulang kali menelan ludah. Relax, Steinhart. Yakinlah bahwa tak akan terjadi hal yang buruk. Yakinlah. Yang kini duduk di hadapannya hanya seorang pemuda biasa yang memasang raut wajah kesal, hanya senior dengan usia terpaut satu tahun. Tak ada yang perlu kau cemaskan. Sama sekali tak ada.

Sulit sekali meyakinkan diri sendiri dalam keadaan seperti ini.

Tak mampu menunggu lebih lama lagi, Amanda mengumpulkan segenap keberanian yang ia miliki, termasuk memungut beberapa yang sempat tercecer, kemudian bertanya, "Jadi, ada apa, Senior? Hal penting apa yang ingin kau bicarakan hingga menyuruhku kemari?" Nekat, ia mengangkat wajah, menatap mata sang senior lekat, tak mau disebut tak sopan jika mengalihkan pandangan.

For God's sake, situasi ini--benar-benar menyiksa.

Labels: ,


2:41 AM