Thursday, April 9, 2009

Termangu. Amanda menatap lembaran perkamen di tangan kanannya dengan pandangan hampa, selama sepersekian detik tubuhnya terpaku di tempat. Saat ini gadis berambut cokelat tersebut tengah duduk bersila di atas tempat tidur, membaca selembar surat yang bahkan setelah puluhan kali dibuka dan dibaca hingga guratan-guratan lipatan terpatri jelas di tiap inci bahan sang perkamen--lusuh--tak juga mampu menghapus rasa tidak percaya yang menembus dadanya dan menelusup ke dalam hati. Tidak, pasti surat ini salah kirim. Pasti. Well, jangan pura-pura bodoh, Amanda. Coba lihat nama siapa yang tertera disitu. Namanya. Amanda Steinhart. Mungkin ia salah eja. S-T-E-I-N-H-A-R-T. Tolong katakan rangkaian huruf tersebut tidak membentuk sebuah formasi kata 'Steinhart'.

Kau mulai autis, Amanda.



Ia menghela nafas, menyadari bahwa sia-sia saja berharap bahwa tulisan yang tercetak di perkamen dalam genggamannya salah. Surat itu memang ditujukan padanya. Untuknya. Dan jelas-jelas berasal dari seseorang yang tak pernah sekalipun tertera dalam daftar orang-orang yang mungkin mengiriminya surat. Seseorang yang paling enggan ia temui dalam jangka waktu satu term ke belakang.

Senior McKay.

Ini benar-benar janggal, sungguh. Dalam rangka apa sang senior asramanya itu secara tiba-tiba memintanya untuk menemui pemuda tersebut di Leaky Cauldron pada pukul 4? Amanda merebahkan tubuh di atas tempat tidur, kedua matanya kini menatap langit-langit kamar, rangkaian kayu melintang rumit jauh di atasnya. Ah, teringat lagi. Insiden di danau dua term yang lalu, yang melibatkan dirinya dalam suatu skenario drama tak terduga, mengubahnya sejenak menjadi seseorang yang lupa akan sopan santun. Oh, ayolah, apakah kau akan diam saja jika bukumu dirusak sedemikian rupa di depan matamu? Yang jelas jika kau melontarkan pertanyaan tersebut pada Amanda, jawabannya adalah tidak. Tetapi harus ia akui, tindakannya waktu itu sudah keterlaluan. Melampiaskan kemarahan tanpa berpikir panjang tak akan pernah menyelesaikan sebuah masalah--sudah barang tentu malah akan memperburuk keadaan. Dan statement itu telah terbukti. Ending dari skenario menyatakan bahwa buku Rune-nya harus menjadi korban. Ia yang memulai konflik, ia jugalah yang harus menangis di akhir. Huft.

Hm, benaknya berprediksi, alasan senior McKay mengajak Amanda bertemu tentu tak akan jauh dari peristiwa tersebut. Apalagi? Saat itu adalah kali pertama dan kali terakhir dirinya bertemu sang senior, maka tak mungkin ada alasan lain, bukan? Perhaps. Ia tak pandai menerka.

Ini berhubungan dengan sebuah janji lama yang harus segera aku tepati.


Keningnya berkerut, berusaha mencerna dan mengingat. Janji? Janji yang mana? Seingat Amanda, pemuda itu tak pernah memberikan janji apapun. Bingung, ia mengusap keningnya perlahan--atau mungkin ia lupa? Rasanya tidak. Sekali lagi helaan nafas terhembus dari mulutnya. Well, kalau ia mau tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan sang senior, mau tidak mau, terpaksa atau sukarela, dirinya harus bersedia pergi ke Leaky Cauldron, memenuhi undangan. Fine. Ia tak ingin dicap sebagai seorang pengecut.

Leaky Cauldron
Derit nyaring memilukan menyambut Amanda saat tangan kanannya mendorong pintu masuk Leaky Cauldron, lagi-lagi menghadirkan sebuah jengitan di raut wajahnya. Pintu ini harus segera diminyaki, ck. Ruangan tersebut ramai seperti biasa, memberi kesan sesak. Duh. Kenapa pula harus tempat ini yang terpilih sebagai TKP? Peluh menetes dari pelipisnya, turun melintasi pipi hingga leher. Panas. Benar-benar bukan tempat yang nyaman. Kedua manik hazel mulai berputar, menelisik tiap sudut ruangan, mencari--

God. Itu dia.

Amanda menggigit bibir bawahnya dengan perasaan cemas, jantungnya berderap cepat dengan tempo abstrak. Ne-nervous. Tak ada yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi, apakah sang kebaikan atau keburukan akan menghampiri. However, she must face it. Ia lebih tak tahan jika harus lari dari masalah. So, cross your finger and hope for the best, Steinhart.

Seraya menarik-hembus nafas berulang kali untuk menghadirkan ketenangan, Amanda melangkah menghampiri meja tempat sang senior duduk ditemani dua gelas butterbeer, kemudian dengan sedikit ragu menghenyakkan tubuh di atas kursi di depan pemuda itu. Here we go. "Ingin bertemu denganku, eh, Senior? Ada apa?"

Labels: ,


2:12 AM