Thursday, April 9, 2009

Set Adrift on Memory Bliss-#1

"Oh, please, yang benar saja, Nat."
"Kenapa?"
"Kau bisa kena detensi."
Nathaniel mendengus, kemudian menyeringai. "Aku tidak peduli."
Anak lelaki dua belas tahun itu menghela nafas saat merasakan langkah sepupunya terhenti. Nat berbalik, menatap Amanda lekat, wajah datarnya menunjukkan bahwa sifat keras kepalanyalah yang kini mengambil peran. Hening. Ia bersedekap, menunggu gadis dihadapannya berbicara.
"Bukankah sudah berulang kali kukatakan, jangan bawa benda itu ke Hogwarts!" seru Amanda lirih, binar kekesalan terpeta jelas diwajahnya, membuat Nat melempar pandang ke arah lain.
"Oh ya, dan membiarkan Dad membuangnya? No way," balasnya skeptis. "Kau tahu sendiri seberapa besar rasa benci ayahku terhadap--jangan menatapku seperti itu, Amanda, please."
"Tapi bukan berarti kau boleh--"
"Aku benar-benar sedang tak ingin berdebat, sungguh. Dan maafkan aku, kali ini rencanaku sudah bulat, oke?" potong Nat cepat, matanya melirik waspada ketika melihat selintas gerakan di lukisan seberang. Ia menggerakkan tangan, mengisyaratkan agar mereka berjalan kembali.
"Fine, terserah. Kapan?" ujar Amanda, kali ini yang hadir dalam suaranya adalah gaung putus asa, helaan nafas mengiringi. Dinding batu memantulkan derap langkah dua siswa cilik yang melintasinya, langit sore menebar siluet jingga, menembus jendela dan menyirami koridor. Lukisan Nyonya Gemuk telah terlihat beberapa meter jauhnya di depan sana.
"Malam ini."



Buz.
Buz.
Buz.
Obor yang keempat menerima tongkat estafet, api berkobar dalam sekali sentak. Dan untuk keempat kalinya pula sosok itu menggertakkan gigi, merutuki kenyataan, sementara kepalanya sesekali menoleh ke belakang. Bodohnya ia, tak memperhitungkan sistem penerangan Hogwarts di malam hari, dimana tiap obor yang terpancang di dinding akan meletupkan cahaya jika sesuatu melewatinya. Keheningan menyelimuti, berkawan dengan hembusan angin yang menggigit, namun fakta tersebut tak dapat mencegah dahinya untuk berkeringat.

Akhirnya.

Nathaniel mengatur nafas sejenak seraya mengusap kening. Selamat sampai disini. Di hadapannya kini telah menjulang pintu tujuannya, yang menyembunyikan ruangan kelas kosong dari pandangan. Perlahan, tangan kanannya bergerak meraih kenop, membuka pintu dengan hati-hati agar tak menghadirkan derit sedikitpun. Setelah menjengukkan kepala sesaat ke dalam untuk memeriksa keadaan, Nat melangkah masuk, membiarkan pintu dalam keadaan sedikit terbuka.

Gelap gulita--persis seperti prediksinya. Hanya cahaya bulan purnama yang membanjir masuk melalui jendela, menimbulkan siluet di beberapa bagian ruangan dan menampakkan sosok-sosok abnormal di dinding. Tak masalah sebenarnya. Nat melangkah cepat ke balik meja profesor di bagian terdepan kelas, membungkuk dan meraih sesuatu--solusi dari masalah kegelapgulitaan. Lampu minyak. Properti yang telah ia persiapkan sejak siang tadi. Nat melepas sang kaca pelindung, mencabut tongkat Eldernya dari saku, kemudian mengarahkannya lurus ke arah sumbu. "Lacarnum Inflamarae," bisiknya. Beres. Mengembalikan tutup lampu seperti semula, ia mengangkat benda tersebut dengan hati-hati, membawanya melangkah menuju sudut terpencil ruangan. Tempat yang sempurna baginya, sekaligus berharap agar apapun yang tanpa sengaja dapat mendengar suara--yang akan segera muncul beberapa saat lagi--minimal tak dapat melihatnya dari pintu.

Telah menemukan posisi strategis, Nat duduk bersila, dengan lampu minyak di sisi kanan, serta sang benda yang memegang peran utama di tangan sebelah kiri. Ah, ya, ia belum memberitahu? Tak akan terlalu mencengangkan, so you don't have to hold your breath, seriously. Jari jemari kirinya kini tengah menggenggam erat sebuah alat musik yang selalu menjadi kebanggaannya sejak Nat berusia enam tahun. Saxophone. Rite, saxophone perak tanpa cela, salah satu benda kesayangannya sepanjang masa. Benda yang menjadi satu-satunya alasan mengapa ia berani mengambil resiko terkena detensi, berkeliaran di saat tengah malam hampir menjelang, tanpa izin, dan tanpa menghiraukan segala peraturan. Oh, please, tolong beri ia kesempatan, kali ini saja. Beri ia waktu untuk merealisasikan keinginan terbesarnya. Hanya untuk malam ini. Swear.

Menarik nafas dalam-dalam, anak lelaki bermata kecokelatan itu menggeser saxophone dalam genggamannya ke posisi yang tepat. Dan detik berikutnya simfoni telah dikumandangkan, lirih, diiringi hatinya yang turut bernyanyi.

Edelweiss, Edelweiss
Every morning you greet me
Small and white, clean and bright
You look happy to meet me
Edelweiss, Edelweiss
Bloom and grow forever
Edelweiss, Edelweiss
Bless my homeland forever...


Nat merasakan kerongkongannya tercekat, alunan melodi berhenti seketika. Sebuah lagu ceria, benar. Favorit Mom. Namun entah mengapa dirinya tak mampu turut bersemangat dan bahagia seperti yang biasa Mom perlihatkan saat mengajarinya lagu yang satu ini, yang ada hanya kehampaan memenuhi rongga dadanya. Hanya ada satu hal yang berhasil melonjakkan hati Nat beberapa milimeter ke atas--ia masih ingat bagaimana cara memainkannya, setelah hampir satu tahun berselang. Syukurlah. Dengan begitu rencananya tak sia-sia.

Ditatapnya langit kelabu jauh di atas sana, senyuman tersungging samar. Untuk malam ini saja, Mom, lagu ini kembali ia perdengarkan. Hanya untukmu. Selamat ulang tahun...

(OOC : Song credit to Edelweiss from Sound of Music, 1959. Timeline pukul 11 malam)

Labels: ,


4:01 AM