Thursday, April 9, 2009

Meja Gryffindor
Sudah selesai? Bagus. Nathaniel melirik sang topi seleksi, kemudian tatapannya mengekori langkah siswa terakhir yang bangkit dari kursi berkaki tiga, berjalan menuju meja asramanya. Benar-benar menghabiskan banyak waktu. Siswa tahun ini sama banyaknya dibandingkan tahun lalu, seems to be. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jemari tangan kanannya, bergantian dan berirama, sementara tangan yang lain menopang dagu. Anak baru, eh? Semoga Gryffindor mendapatkan beberapa yang dapat diandalkan dan berkriteria memuaskan. Regenerasi bukan salah satu personil daftar berlabel 'sepele'.

Well, tak terlalu perduli juga sih sebenarnya.

Suara riuh rendah yang menyelimuti seantero ruangan secara tiba-tiba mereda. Satu hal yang pasti : The Honour Headmaster's speech. Alih-alih menoleh dan mendongak memandang sang profesor kacamata bulan-separo, kepalanya tertunduk, jemarinya saling bertaut di atas meja. Just listen. Uhuh, ucapan selamat datang seperti biasa, dilanjutkan dengan wejangan untuk tidak 'sok pintar' dengan berlatih mantra di koridor, larangan membawa benda-benda berbahaya yang tertulis dalam daftar di kantor Mr. Filch--penjaga sekolah tersayang? Oh, you must be kidding us--dan penundaan pengenalan guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam yang baru. Topik ini berhasil membuat Nat mengerling meja guru dalam sepersekian detik, penasaran. Yah, sayangnya belum datang. Siapa yang menjadi guru PTIH selanjutnya memang menjadi bahan pembicaraan hangat akhir-akhir ini di kalangan para siswa, prediksi-prediksi berseliweran, pendapat terlontar dimana-mana. Mana yang benar belum bisa dibuktikan sekarang, masih harus menunggu. Ck. Kalimat pamungkas yang ditunggu akhirnya terdengar, dan dalam sekejap mata ratusan piring muncul, beragam jenis makanan tersaji, menerbitkan air liur. Well, sepertinya sih begitu, jika dilihat dari gelagat anak-anak yang duduk disekelilingnya, bunyi berkelontang ribut sendok dan garpu, serta gemuruh ocehan yang mulai membahana lagi.

Nat terdiam, hanya menatap kalkun dihadapannya dengan pandangan kosong. Tidak selera makan, sungguh. Ia lapar, tetapi tak ada keinginan untuk makan. Benaknya dipenuhi hal-hal yang terjadi sebulan ke belakang, terutama yang terjadi saat libur musim panas lalu. Entah mengapa semua itu tak mampu dienyahkan, mengendap dan senantiasa terpikirkan dimanapun dan kapanpun. Leander. Modifikasi. Anak lelaki dua belas tahun itu menghela nafas, mengusap kening. Dad memodifikasi ingatannya. Tak bisa dipercaya. Alasan yang dikemukakan sang ayah memang masuk akal, tetapi tetap tak mampu ia terima dengan hati lapang.

...untuk mencegah segala hal yang mungkin dapat menyebabkan Amanda tahu...


Ya. Ayahnya khawatir Nat akan tanpa sengaja memberitahu sepupunya bahwa Leander telah tewas. Modifikasi dipilih sebagai jalan tengah. Haha, nice. Dan kemudian pemuda itu--Leander, kakak Amanda--muncul tiba-tiba, menghadirkan binar kebahagiaan di mata si bungsu Steinhart. Nathaniel turut bahagia jika Amanda bahagia, tak perlu diragukan lagi, namun entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal hatinya, menyesakkan. Bahkan setelah peristiwa yang menguak fakta mencengangkan itu berlalu satu minggu lamanya, perasaan tak nyaman itu masih hinggap. Tapi apa? Tidak tahu. Mungkin--hanya mungkin--perasaan khawatir. Khawatir Amanda tak membutuhkannya lagi. Sudah ada Leander, rite?

Kedua manik kecokelatan Nat bergulir, kini terfokus pada sosok di meja seberang. Meja Ravenclaw tepatnya. See? Raut wajah Amanda bagaikan siang hari di musim panas, ceria, tak tampak mendung sama sekali. Well, sebenarnya kekhawatiran yang ia rasakan tak cukup beralasan, karena sesungguhnya tugasnya kini bahkan bertambah serius.


"Hei, Gladstone, kemari sebentar."
Nathaniel melompat turun dari Hogwarts Express, memicingkan mata, langkahnya menapak dengan ragu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia mendekati pemuda itu, kemudian mengangkat sepasang alisnya, mengisyaratkan bahwa ia bertanya 'ada apa'.
"Aku tahu kau anak lelaki yang hebat, Nathaniel," ucap Leander, senyum simpul terlukis di bibirnya. Nat hanya mengerjap ketika Leander menepuk pundak kanannya perlahan.
"Dan aku percaya padamu, kalau kau mau tahu. Karena itu..." Leander terdiam sejenak, raut wajahnya berubah serius, "...tolong jaga adikku baik-baik."



Tanpa kau perintahkan pun, William Leander Steinhart, ia akan melaksanakannya dengan segenap jiwa raga, tahu? Sama seperti tahun lalu. Hanya saja, masalahnya sekarang adalah, mampukah dirinya? Dengan isu yang terus menebarkan ancaman--Kau-Tahu-Siapa berjaya, dunia sihir dalam bahaya--apakah kapasitas seorang Nathaniel Gladstone mampu memberikan perlindungan terbaik? Bekal yang ia miliki hanya tekad dan keyakinan. Huft. Well, just have a little faith, Nathaniel.

Kepalanya menoleh ketika suara seorang gadis mampir ditelinganya. Jaga tempat duduk? Ia menatap punggung gadis senior yang mulai berjalan menjauh itu, kemudian mendengus samar. Tempat duduk masih banyak, Miss, dan sepertinya tak ada yang tertarik untuk duduk di samping Nat. So, tenang saja. Sebuah suara lantang lagi-lagi terdengar, kali ini berasal dari--oke, sang ketua murid. Saudara Jonathan Baned. Berusaha mengenyahkan sikap dingin dan acuh yang menyelimuti, Nat melempar seringai tipis, mengangguk ketika sambutan dilontarkan senior tahun ketujuh tersebut. Setelah itu ia menoleh kepada anak lelaki disampingnya, "Hai, Joong, how's life?"

Labels: ,


3:40 AM