Wednesday, April 8, 2009

Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam - Kelas 2

Hangat. Uap yang terkepul memenuhi rongga hidung, menjelajahi tenggorokan, turun ke paru-paru. Ah. Darjeeling Tea.

Amanda merapatkan jemarinya di sekeliling cangkir, mencoba menyalurkan rasa hangat yang menyelimuti benda di hadapannya ke seluruh penjuru tubuh. Riak kecokelatan di dalam wadah porselen--yang kini tinggal terisi setengahnya--berkilat memantulkan sinar mentari, terlihat memikat dan membangkitkan dahaga. Sungguh, profesor Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam tahun ini tak kalah uniknya dibandingkan profesor-profesor terdahulu, ciri khas luar biasa selalu menyeruak di barisan terdepan, menimbulkan banyak pertanyaan dan rasa penasaran. Well, just take a look at the girl in front of the class--and her doll, of course. Hanya dengan sekilas pandang, kau tak perlu keahlian khusus untuk mengambil kesimpulan : seorang ventriloquist muda dengan talenta di atas rata-rata. 18 tahun mungkin, eh? Tak perlu menyembunyikan kekaguman, kalau benar begitu.

Dan teh bukanlah sesuatu yang umum diberikan di kelas dalam sebuah pertemuan formal, bagi Amanda ini kali pertama, dan kemungkinan besar murid-murid lain pun berpendapat sama. Efek yang ditimbulkan minuman tersebut sedikit banyak membuat tubuhnya rileks, lebih nyaman dan siap untuk menghadapi materi pelajaran, apapun itu. Semoga saja. Ia meminum beberapa teguk lagi, mengerling sang boneka ketika pembelajaran mulai dijabarkan. Expelliarmus. Stupefy. Kedua matanya berbinar saat menyadari bahwa akan dilangsungkan praktek, semangatnya timbul ke permukaan. Jadikan hari ini sebagai awal, Amanda. Ya, awal perjuangan dirinya untuk menggapai apa yang telah ditekadkan hati dan benaknya sejak kecil. To be an Auror. Auror hebat, yang dapat melindungi siapapun yang ia kehendaki...

...juga balas dendam


Eh? Amanda tertegun. Apa itu barusan? Sebersit pikiran abstrak melintas, alam bawah sadarnya berbicara. Itu... Tidak, tentu saja tidak. Seorang Steinhart tak pantas memendam perasaan yang buruk. Tak ada gunanya pula. Ya, absolutely useless, rite? Yang berlalu biarkanlah berlalu. Kenangan menyakitkan akan lebih baik jika dilupakan.

Benarkah? Mampukah kau, Amanda Steinhart?


Ia mampu. Pasti ia sanggup. Gadis berambut ikal kecokelatan itu menatap kosong sang cangkir, baru menyadari bahwa ia sama sekali tak mendengarkan perkataan Profesor Holmes--perkataan boneka miliknya lebih tepatnya--ketika secara serentak teman-teman sekelasnya berdiri, kemudian membentuk sebuah barisan. Ada apa? Apa prakteknya? Setelah menghabiskan teh Darjeelingnya dalam sekali teguk, Amanda turut bangkit, berusaha melongokkan kepala untuk mencari tahu. Tidak kelihatan. Mengangkat bahu, ia mengambil posisi di belakang Windstroke, mencabut tongkat Eldernya dan memilinnya perlahan. Ya sudahlah, nanti juga ia tahu. Seruan dan teriakan 'Expelliarmus' silih berganti terdengar, satu persatu siswa melaksanakan apa yang harus mereka lakukan dengan baik. Amanda menggumamkan mantra yang dimaksud berulang kali, mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun itu yang tengah menunggu di bagian depan kelas. Expelliarmus, Expelliarmus, Expelliarmus... Sepasang kakinya secara bertahap bergeser maju, detik-detik berlalu. Barisan menipis.

TAP.

Amanda mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk, matanya terkerjap. Windstroke telah menghilang dari hadapannya. Gi-gilirannyakah? Ia menoleh kesana kemari, memastikan. Huft, benar. Baiklah. Genggaman pada sang tongkat mengerat, dehaman samar ia lontarkan untuk meredakan jantungnya yang mulai berdentum kencang. Apa sebenarnya yang akan ia hadapi?

Dan disanalah pria itu berdiri.

Dan setelah ledakan besar itu, sang penyihir terus maju, cengiran seorang pembunuh terentang lebar di wajahnya. Gadis cilik berusia lima tahun itu menangis sejadi-jadinya, berpelukan dengan sepupunya, masih tak mampu bergerak. Sekujur tubuh mereka gemetar tak terkendali. Takut. Shocked. Mom. Dad...
Tawa melengking membahana, membelah udara, menggetarkan hati siapapun. "Kalian juga minta mati, eh, anak kecil?" Sang pembunuh menjilat bibirnya, mata liarnya bergerak-gerak cepat, tangan kanannya mengacungkan tongkat.
Terserah. Sang gadis cilik memejamkan mata. Bunuh saja. Bunuh. Agar ia dapat segera bertemu Mom dan Dad. Isak dan tawa saling berbaur. Cepat. Ia. Mau. Mati. Saja.


Amanda terpaku, tubuhnya terasa gamang. Sesuatu tengah bergerak maju ke arahnya. Sesuatu, atau seseorang sedang melangkah ke arahnya. Itu. Sang pembunuh. Waktu seakan kembali berputar, mesin waktu membangkitkan peristiwa kelam delapan tahun lalu. Hei. Sadar Amanda. Kau berada dalam kelas sekarang. Tidak akan terjadi apapun. Sekeras apapun benaknya mencoba mendoktrin ketenangan, tubuhnya tetap tak mampu digerakkan. Tangannya berkeringat, dan--for God's sake--gemetar. Astaga, yang benar saja Amanda. "Expelli--Expel... Ex--," mulutnya berbisik. Tidak akan berhasil. Manekin itu semakin mendekat, kini hanya berjarak satu meter darinya. Dan telah bertambah dekat lagi.

Amanda melangkah mundur, kengerian terpancar dari wajahnya. Ia tak sanggup melawan ketakutannya. Bodoh. Bodoh. Punggungnya membentur meja. Duh. Frustasi, gadis itu berjongkok, melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Hentikan pembunuh itu, ia mohon... Dalam waktu sepersekian detik kesadarannya mampir, memberikan kekuatan spontan. "Expelliarmus!" teriaknya serak, tongkatnya teracung ke depan. Berhenti. Pembunuh itu berhenti, senjatanya terlempar. Be--berhasil.

Labels: ,


10:11 PM