Mantra - Kelas 2At last. Kelas mantra
released. Suara berderak nyaring membuat Amanda berjengit, mundur selangkah ke belakang. Sudah berhenti? Dengan sedikit ragu ia menyentuh pegangan tangga berpelitur emas di hadapannya, sementara tatapannya bergerak ke bawah, memastikan segalanya sudah tepat. Oke. Kedua kakinya mulai bergerak, menuruni anak tangga secepat ia mampu, khawatir benda yang ia pijak berubah direksi secara tiba-tiba.
Menjejak dasar tangga dengan sukses, ia menghembuskan nafas lega, kemudian tanpa membuang waktu bergegas melesat melintasi koridor lantai tiga. Jubahnya berkibar dengan bunyi kepak ribut, ketukan sepatunya dipantulkan sang dinding batu tua sehingga gaung mengerikan tercipta dan menusuk telinga. Bodoh. Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa kelas mantra dilangsungkan hari ini? Nuansa perpustakaan yang begitu tenang melenakan dirinya, membuat hal-hal diluar buku, buku dan buku terdepak keluar dari benak. Ia beruntung karena dikejutkan seorang siswi yang menjatuhkan serangkaian buku dari rak, menyadarkannya bahwa lima menit lagi kelas akan dimulai. Dan disinilah gadis itu berada sekarang, tergopoh-gopoh menghampiri pintu kelas, berharap dirinya tak terlambat, sesekali ditingkahi bunyi bergemuruh dari perutnya yang perih. Lapar. Belum makan sejak pagi.
Dengan segenap perasaan lega, Amanda menyelinap masuk ke dalam kelas, melewati ambang pintu yang masih terbuka lebar. Wih, selamat. Sedikit terengah, ia menghenyakkan diri di kursi yang dipilih oleh alam bawah sadarnya secara acak, tak terlalu peduli akan posisinya. Asalkan tak terlalu belakang tidak masalah. Sembari mengatur nafas, kedua matanya mengerling sang profesor yang telah siap di singgasananya--di atas tumpukan buku--tengah berkoar bahwa hari ini mereka akan praktek serta memberi wejangan kepada seluruh murid yang berada di dalam agar mempelajari mantra-mantra lain di luar kelas dengan bijak untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Amanda mengangguk mengerti. Tentu saja, ia bukan tipe orang yang hobi mengacau terlebih dengan dalih 'sedang belajar mantra'. No way. Well, agenda mempelajari mantra untuk para murid tahun kedua memang cenderung terlupakan olehnya, tak seperti term lalu dimana dengan semangat tinggi tongkatnya seringkali melambai di waktu senggang, mantra-mantra secara beruntun terkuasai dengan baik. Namun kini--entah, ia merasakan sesuatu yang aneh bersarang di dalam dirinya, sesuatu yang asing, tak diketahui namanya dan tak terdefinisi.
"-kita mulai! Arahkan tongkat kalian dan rapalkan mantranya; ALARTE ASCENDARE!" Suara sang profesor kembali terdengar, menandakan praktek telah dimulai. Amanda mengambil tongkat Eldernya dibalik jubah, terkejut saat menyadari sebuah bantal telah tergeletak di atas meja di hadapannya, menunggu dimantrai. Alarte Ascendare, Alarte Ascendare. Mantra pelontar, eh? Dapat membuat sesuatu terpental kalau ia tak salah ingat. Sebelum ini Paman Amethyst belum pernah membahas mantra tersebut, menimbulkan keraguan di hatinya. Mampukah ia? Tak akan pernah tahu jika tak mencoba. Jadi, diangkatnya tongkat, dikumpulkannya segenap konsentrasi, dan dengan dehaman samar menyertai, ia berseru, "Alarte Ascen--"
KRUYUUK
Duh. Amanda meringis, memegangi perutnya yang sakit. Gawat, sepertinya maagnya kambuh. Ia memejamkan mata sejenak dan mengubah posisi duduk, berharap dengan begitu rasa perih yang mendera lambungnya dapat pergi. Tidak berhasil. Bertahan, please. Just say the spell, lalu pergi ke asrama dan tidur. Menghembuskan nafas keras-keras melalui mulut, ia kembali mengangkat Eldernya, bersusah payah menghimpun konsentrasi sekali lagi, dan bergumam, "Alarte Ascenda--" Suara BUK pelan dari suatu tempat tepat di depan gadis itu duduk kembali membuyarkan segala jerih payahnya untuk fokus. Amanda mendesah, kelereng kecokelatannya bergulir ke arah entah suara apa itu berasal, mencari tahu siapa yang--oh. Sebuah sensasi menyesakkan hadir di hatinya, seakan ada sebongkah batu menghujam diafragmanya, mendentum-dentum jantungnya dalam tempo abstrak. Lagi-lagi. Perasaan apa sih ini? Aneh. Sangat aneh. Nervous melanda, sekali lagi ia mengerling anak laki-laki yang duduk di depannya. Ya, anak itu.
Lazarus.
Amanda menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang tercekat.
Kenapa sih kau, Steinhart? Tidak tahu. Tolong, jangan bertanya padanya karena ia pun tak mengerti. Semenjak peristiwa di danau itu, ia-- For God's sake, lupakan. Lupakan. Beritahu bagaimana caranya agar ia lupa, please... Teringat bahwa ia belum berhasil mempraktekkan mantra, Amanda menggenggam tongkatnya lebih erat--telapak tangannya berkeringat kalau kau mau tahu--dan dengan frustasi bibirnya melafalkan, "Alarte Ascendare!" Bantal di hadapannya melonjak, hanya terlompat beberapa sentimeter ke atas. God, ayolah. Sekali lagi. Kalau kali ini tak berhasil juga, sudahlah, ia menyerah. "Alarte Ascendare!" Alangkah beruntungnya ia karena sang bantal memutuskan untuk patuh dan melompat tinggi hingga langit-langit, membentur atap sebelum kembali terjatuh. Syukurlah. Amanda menelungkupkan wajah ke atas meja, berdoa dalam hati--hilangkanlah perasaan dalam hatinya ini, Tuhan. Apapun namanya.
Labels: Kelas Mantra, Steinhart