Wednesday, April 8, 2009

Mantra Kelas 1 - Semua Asrama - #2

"Pelajari definisi mantra tersebut di halaman dua ratus empat puluh tujuh."
Nathaniel menguap, mengacak rambut hitamnya dengan malas, sementara tangan kanannya membalik halaman demi halaman, berusaha bertahan. Mantra apa lagi, sih--Alohomora?
"Hafalkan, pelajari--"
"Dad, istirahat, please. Dua jam saja, aku mohon."
Amethyst Gladstone mengatupkan bibir, menatap putranya dengan tatapan menelisik. "Mau kemana, Son?"
"Main bola."
"Hanya untuk akhir pekan, ingat?"
"Yang benar saja, Dad. Minggu depan akan ada pertandingan divisi--" Nat menghentikan ucapannya saat melihat mimik wajah sang ayah. Sungguh tak ada kesempatan.
"Prinsip keluarga Gladstone nomor dua?"
Anak lelaki sepuluh tahun itu mengerang lirih saat mendengar pertanyaan ayahnya. Itu lagi. "Pengetahuan itu krusial. Dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh adalah kewajiban," jawabnya seraya memutar kedua bola mata kecokelatannya. Prinsip keluarga Gladstone. Menyenangkan sekali.
"Sudah mengerti? Bagus. Lanjutkan menghafal. Oh--dan jangan memutar mata seperti itu. Tidak sopan."



Untuk kesekian kalinya helaan nafas terhembus pelan dari mulut Nat, mengumbar uap putih samar di udara. Punggungnya bersandar pada dinding batu kehitaman yang mengukung ruangan, rasa dingin menembus jubah dan menelusup ke dalam kulit. Mengapa hal yang selalu ia ingat mengenai ayahnya adalah sikap keras pria dewasa itu? Padahal masih banyak sifat menyenangkan yang ia dapatkan. Begitulah--belajar di atas segalanya, tanpa kecuali. Dan itu berlaku hanya baginya, Amanda tidak. Sepertinya gadis tersebut memang gemar mempelajari apapun--not like him--dan itu menjadikan Dad lebih lunak kepada sepupunya. Ck, apakah Nat harus berubah seperti itu juga, eh?

Keningnya berkerut saat seorang gadis cilik duduk begitu saja di sebelahnya, setelah sebelumnya terlihat mengendap-ngendap masuk. Callia--siswi musang. Nat tersenyum singkat ketika anak perempuan di sampingnya--atau di hadapannya jika melihat posisi duduknya sekarang-- melontarkan sapaan, tangan pemuda itu memelintir tongkat Eldernya perlahan. Sang profesor mengatakan akan melakukan pelajaran secara bertahap. So, what's next?

"Eh eh, Professor Flitwick menyuruh kita ngapain, sih?" Sentakan kecil di ujung lengan jubahnya membuat kedua mata Nat bergulir, mengerling Callia. Tidak tahu rupanya? Ia menyingkirkan tangan kecil gadis itu dari lengannya dengan sebuah gerakan pelan, kemudian bergumam, "Colloportus, Callia. Mantra pengunci." Ia tak terbiasa menolong seseorang yang tak terlalu dikenal, semoga anak perempuan polos tersebut mengerti caranya. Pikiran Nat kembali melayang, sang ayah kembali mengetuk dan mampir di benaknya. Not his father exactly, yang ia sedang renungkan kini adalah segala tata krama merepotkan itu : Prinsip & Peraturan Keluarga Gladstone--yang tersusun rapi dalam sebuah buku tua bersampul kulit dengan seratus halaman lebih memenuhi bagian dalam--peraturan tertinggi yang berlaku dalam kehidupannya, peraturan yang telah mendasari segala tingkah lakunya sejak lahir, peraturan yang tak pernah bisa ia terima tanpa gelengan kepala atau helaan nafas, peraturan yang--fine, kalau ia boleh jujur--mengekang dirinya. Entah apa yang akan dilakukan Dad jika ayahnya itu tahu apa yang dipikirkan putranya--well, toh Nat tak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya, jadi sebenarnya tak perlu khawatir. Lelah, tahu tidak? Kalimat agar kau menjadi penyihir hebat terasa amat klise, terkalahkan oleh rasa muak yang terpendam sekian lama. Tinggal menunggu waktu hingga ia melakukan pemberontakan--just see.

"SILENCIO!"

Tersentak, Nat mengerjapkan mata ketika mantra pembisu itu mendarat di telinganya. Ia ketinggalan sesuatu? Ditatapnya Profesor Flitwick yang tengah melancarkan 'Silencio' kedua kepada seorang gadis cilik. Ah ya, tentu saja. Para pelanggar telah diamankan. Nat tetap diam, matanya memicing memandang dua orang pencari gara-gara di kejauhan--Pixies, tak heran, dan seorang gadis entah siapa namanya--kini wajah mereka semakin 'menarik' dengan hiasan I'm a wizard, not a baboon brandishing a stick di kening. Ia mendengus tertawa, kemudian berbisik pelan kepada Callia, "Bisa beri tahu aku siapa nama gadis itu?" tanyanya seraya menunjuk ke arah anak perempuan penderita detensi yang kini terlihat sedang menangis. Wohoo, menangis. Kasihan sekali.

...Sekarang kita rapalkan mantra kedua untuk membuka gembok yang telah kalian kunci; ALOHOMORA!" Suara melengking sang profesor kembali membelah kelas. A-apa? Tercengang sejenak, Nat mengubah posisinya, kini menghadap bagian depan kelas. Benarkah apa yang telinganya tangkap--Alohomora? Mantra penyebab ia kalah dalam pertandingan divisi dua tahun lalu? Sial. Genggaman tangannya pada sang tongkat dipererat, sementara benaknya sibuk meredakan ingatan tak menyenangkan yang mulai timbul. Tidak baik, dapat menghilangkan konsentrasi. Ia berdeham sekali, menarik nafas dan memejamkan mata sekilas, lalu dengan rasa enggan mulai mengarahkan tongkat ke arah gembok terkunci di hadapannya. "Alohomo--"

Jarang ikut latihan, pantas saja kalah

Apa sih itu? Nat menggelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan menyesakkan tersebut, kemudian kembali berusaha berkonsentrasi. "Alohomora!" serunya. Tidak terjadi apa-apa. Hei, fokus, Nathaniel. Fokus. "ALOHOMORA!" Suara 'cklik' samar terdengar. Berhasil.

Labels: ,


8:36 PM