Kucek-Kucek Jahehe-#1"Aku tidak mau tahu, keteledoran seperti itu lagi, dan kau akan kehilangan pekerjaan.""Maaf, tidak akan terulang lagi, Tuan."
"Kupotong gajimu sebagai ganti rugi piring yang pecah. Nehi, tak ada protes."Pemuda itu menatap atasannya dengan tatapan tak percaya, membuka mulut untuk protes, namun kalimat terakhir sang bos mengurungkan rangkaian kalimatnya untuk teriliskan. Great. Pemotongan gaji lagi. Bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk sekolahnya kalau begitu? Menghembuskan nafas berat, ia melepas topi biru dari pucuk kepala, pandangannya menerawang, menatap keramaian jalan besar kota Bombay yang menawarkan rasa penat. Menjadi seorang pelayan restoran ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Hanya satu berita bagus. Shift pagi telah berakhir.
"Yow, Sameer."Suara familiar itu berhasil membuat Sameer memutar tubuh. Ia menoleh, dan sesuai prediksi--kedua sahabatnya datang berkunjung. Rangkulan di bahunya melesungkan seringai dan tawa di wajahnya. Karan dan Vikram. Ada angin apa sehingga mereka memutuskan untuk mampir kemari, eh?
"Sudah selesai bekerja, kan? Bagus, ayo ikut," ujar Karan cepat. Kemudian, tanpa sempat membantah, detik berikutnya ia telah ditarik paksa oleh kedua sahabat karibnya, menyusuri jalan berdebu Hindustan, melewati pasar penuh sesak akan para wanita paruh baya dengan sari terjuntai, hingga tiba di tempat tujuan--sepertinya. Rumah Vikram.
"Sekarang," kali ini Vikram yang berbicara,
"ganti bajumu." Sameer mengerutkan kening ketika satu stel pakaian disodorkan, kepalanya mendongak, melempar pandangan bertanya. Apa sih? Yakin tak akan mendapatkan jawaban sebelum melakukan apa yang diperintahkan, ia memicingkan mata sejenak sebelum melangkah masuk dan menukar pakaian seragam pelayan yang ia kenakan dengan satu pasang pakaian kasual--kaus dan celana panjang gombrong khas pemuda India. Selesai. Kembali ke tempat kedua sahabatnya menunggu, Sameer mengangkat sepasang alisnya, meminta penjelasan.
"Oke, Sameer. Kau tahu hari apa sekarang?" tanya Karan, hening menyambut. Sameer memutuskan untuk diam dalam genangan rasa penasaran, menunggu.
"Hari terakhir libur akhir tahun Gurukul, benar? Karena itu, Sameer sahabatku," lanjut Karan,
"Putuskan. Sekarang atau tidak sama sekali." Memutuskan apa, hah? Masih belum mengerti, ia menatap kedua pemuda dihadapannya silih berganti.
"Oh, ayolah, jangan berpura-pura tak tahu, bodoh. Kau tahu apa yang kami maksudkan. Sanjana." Kalimat yang terlontar dari mulut Vikram tersebut sukses membuat Sameer terpaku. Ia tertegun, terlebih saat Karan menyerahkan sesuatu disertai tatapan ambil-kalau-tidak-mati.
Bunga mawar?
Sameer menelan ludah, dengan ragu menerima bunga dari tangan Karan. Ia tak yakin, sungguh. Ha--haruskah? Sanjana, atau Sanju gadis itu biasa dipanggil, adalah sosok pujaannya, sahabatnya sejak kecil, pribadi dimana ia memberikan seluruh hatinya. Namun ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tindakan tersebut akan memberikan komplikasi yang tak main-main--pertama, kepala sekolah Gurukul, sekolah khusus pria dimana ia menuntut ilmu, melarang para muridnya untuk jatuh cinta. Tanpa kecuali, dan dikeluarkan adalah konsekuensi bagi yang melanggar. Kedua, menyatakan perasaan pada Sanju sama saja dengan mengajak perang si tua Aminta Bacem. Duh. Tetapi bagaimanapun ia harus memutuskan.
"Sudah punya keputusan, Sameer?" tukas Vikram.
"Gadismu ada di Bukit Hinai."***
Bukit Hinai. Tempat yang tepat--semoga. Sameer berjalan tersaruk, memandang nanar mawar dalam genggamannya. Ia harus mengatakannya, sudah diputuskan. Modal nekat. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Ia sudah tak peduli.
Lihat siapa yang ada disana? Aminta Bacem. Dan sebuah tarian tengah dibawakan dengan kompak. Syu--syuting? Sameer tercengang sejenak, kemudian tanpa membuang-membuang waktu segera mencari sosok yang menjadi tujuannya. Itu dia.
Sanju.
Melangkah menghampiri--bunga mawar dibalik punggung, ia menarik tangan gadis itu perlahan seraya berujar, "Ada yang ingin kubicarakan." Setelah tiba agak jauh dari kerumunan, Sameer berdeham dan menelan ludah sekali lagi. Ia harus bisa. Harus. Dan meluncurlah nyanyian tersebut dari bibirnya.
Humko humise chura lo, dil mein kahin tum chupa lo
(Rob me from myself, keep me hidden in your heart)
Hum akele kho naa jaaye, door tumse ho naa jaaye
(So that I won't get lost alone, so that I can't go far from you)
Sembari menahan nafas, Sameer mengeluarkan sang bunga mawar dari persembunyian, menyodorkannya pada Sanju. "
Hum tumhe pyar karte hae, Sanju," bisiknya.
Suara bajaj. Seseorang meminta sewa. Hee? Sameer melirik ke arah kerumunan, benar-benar tak habis pikir bagaimana bukit Hinai bisa menjadi tempat pariwisata seramai ini.
Astaga, fokus eh. Fokus. Kembali berkonsentrasi. Kedua kelereng miliknya kembali menatap lekat gadis di hadapannya. Benaknya berputar, mencoba mengingat pelajaran bahasa asing di sekolahnya. Baiklah. Inilah yang sejak awal ingin dikatakan olehnya.
"Would you be mine?"(OOC : Ceritanya Nathaniel jadi Sameer di Mohabbatein. Credit song to Humko Humise Chura Lo-Mohabbatein. Hum tumhe pyar karte hae = I love you.)
A-astaga reppan gue =)) *ngakak*
Labels: Gladstone, Kucek-Kucek Jahehe