Wednesday, April 8, 2009

Kompartemen No. 8

"Duluan saja, Nat. Aku... bersama teman-temanku."

Nathaniel hanya mengedikkan bahu seakan tak peduli ketika mendengar Amanda berbicara, bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun saat helaan nafas gadis itu terdengar disusul derap langkah yang menandakan sepupunya telah benar-benar pergi. Beberapa detik kemudian barulah pandangan redupnya beralih menatap punggung saudara satu atapnya yang tengah berlalu di kejauhan, mengamati hingga sosok tersebut menghilang. Benar-benar sikap kekanakan, Gladstone. Standing ovation akan diberikan kepadamu atas keberhasilanmu menjunjung gengsi tinggi-tinggi ke atas langit.

Nat menunduk memandang sepatunya sebelum mulai bergerak menuju kereta kebanggaan Hogwarts yang telah menjulang di hadapannya, menanti para siswa untuk naik dan mengisi kompartemen. Pikirannya menerawang jauh, rasa penyesalan hadir di benaknya. Alangkah bodoh dirinya karena telah menjadi budak keegoisan, terkalahkan oleh amarah yang masih meletup-letup hingga kini. Well, masih ingat peristiwa di event akbar Gryffindor? Yes, you bet, sampai sekarang ia masih belum bersedia mengubah sikapnya yang menunjukkan bahwa anak laki-laki dua belas tahun itu marah pada sepupunya. Belum. Apa yang ia tunggu, eh? Permintaan maaf? Sepertinya bukan, karena Amanda telah meminta maaf ratusan kali padanya, hingga gadis itu bosan. Meminta maaf hingga gadis itu terlihat putus asa karena tak jua membuahkan hasil positif. Lalu apa? Apa penyebabnya?

Perhatian. Just it.



Can you accept that reason? Nat tidak rela jika perhatian Amanda terbagi. Itu masalahnya. Ia ingin dirinya menjadi orang nomor satu di benak sepupunya, orang pertama yang gadis itu khawatirkan, sosok terdepan yang akan anak perempuan itu bela. Tetapi yang ia rasakan saat ini, keadaan amat bertolak belakang dengan keinginannya tersebut. Keberadaan Baned membuyarkan segalanya. Cih. Dan sekarang, lihat? Amanda lebih memilih bersama teman-temannya--pastinya Baned juga termasuk--daripada sekompartemen dengan dirinya. Bagus sekali. Go ahead, cousin. Masa bodoh. Well, benarkah ia tak peduli?

Sungguh, for God's sake, kau benar-benar egois, Nathaniel Gladstone.



Menyeret kopernya yang berat minta ampun di tangan kanan dan menggenggam sarang Zenas yang kosong di tangan satunya, ia mulai melangkah melintasi koridor Hogwarts Express, menutup rapat-rapat bibirnya seraya mengacuhkan segala kebisingan yang tengah ia lewati satu demi satu. Kompartemen-kompartemen dijubeli para siswa yang telah datang terlebih dahulu, keributan khas Hogwarts terlontar disana-sini, bergaung tiap beberapa meter. Nat mengacak rambut, melongok ke kanan dan ke kiri, mencoba menemukan satu kompartemen yang masih kosong. Suasana ini persis layaknya setahun yang lalu, saat ia berstatus sebagai siswa baru Hogwarts, sebagai penumpang awam. Semoga ia dapat menemukan kompartemen yang tepat, tidak seperti waktu itu--bertemu Holmquist si nona-maunya-sendiri. Amin.

Matanya menangkap siluet seseorang yang--entah takdir atau bagaimana--akhir-akhir sering ia jumpai di berbagai kesempatan. Di dekat jendela sebuah kompartemen duduklah gadis itu. Marvil. Nat membuka mulut hendak memanggil, namun urung saat ia melihat sosok lain tengah duduk di kompartemen yang sama. Sosok itu lagi, astaga. Isla Holmquist. Cewek Slytherin galak dan egois, penyebab bahu kiri Nat terluka. Terima kasih banyak untuk itu, Holmquist. Kakinya kembali bergerak, dengan senang hati hendak meninggalkan kompartemen tersebut dan mencari tempat lain yang lebih strategis dan [i]nyaman[/i]. Namun lagi-lagi sebuah interupsi datang, suara kepakan sayap dan munculnya sesuatu dari luar gerbong menghentikannya.

Zenas.

Burung elang semata wayangnya itu menukik anggun, menelusup masuk melalui jendela kompartemen nomor tujuh dan... eh? Nat mengerutkan kening saat menyaksikan binatang peliharaannya mendarat tanpa basa-basi di atas tempat duduk kompartemen, di seberang tempat Marvil duduk. Ngapain, sih? "Ssst, Zenas. Sini," ucapnya lirih, setengah berbisik seraya menatap elang yang kini tengah mengusap-usap paruh dengan cuek. Tidak mempan. "Zenas, sini, bodoh. Cepat keluar dari situ," gumamnya, kedua matanya mengerling gadis-gadis penghuni kompartemen dengan canggung sebelum kembali mematrikan pandangan kepada burung elangnya. Detik berikutnya Nat telah mengerucutkan bibir, bersiul nyaring, ritual sakral pemanggilan sang binatang peliharaan. Tak pernah gagal. Namun fakta berbicara lain. Zenas malah melengos, menatap ke celah di ujung tempat duduk dengan matanya yang berkilat tajam, sama sekali tak tampak menyadari kehadiran Nat. Joh. Maunya apa sih, burung ini?

Akhirnya--ya, AKHIRNYA--ia melangkah memasuki kompartemen tersebut, berusaha mengacuhkan Holmquist secara total, kemudian mengangkat Zenas dengan kesal dan menghenyakkan diri di atas tempat duduk. Kopernya berat sangat, kalau kau mau tahu, dan sebenarnya ia sudah lelah berjalan. So, tak ada salahnya berada dalam satu kompartemen dengan Marvil, berpura-pura Holmquist tak ada, beres. Nat melempar senyum sekilas pada gadis di hadapannya, bertanya, "Keberatan kalau aku disini, Marvil?" Semoga tidak.

Ngomong-ngomong, Zenas kenapa ya?

Labels: ,


11:41 PM