Wednesday, April 8, 2009

Kelas Herbologi - Kelas 2

"Hati-hati makanya."

Astaga. Suara itu. Nada dingin itu. Amanda tetap menunduk, menelan ludah gugup sementara tubuhnya bergeming. Oh God, katakan kalau ia salah, katakan bahwa suara itu bukan milik... Fine, bagaimanapun juga sang pemilik suara pastinya sudah tahu bahwa gadis-di-kolong-meja itu adalah Amanda. Lalu mengapa kini ia terpaku tak mampu bergerak? Lagipula--for God's sake, Steinhart, kau kenapa sih? Aneh. Kau. Aneh. Menghela nafas seraya menggigit bibir bagian bawah, secara perlahan gadis itu mendongak, menatap anak laki-laki yang berdiri menjulang di hadapannya. Lazarus. Di antara belasan bahkan puluhan murid dalam ruangan tersebut, benar-benar kebetulan yang unik--err... baginya cenderung mengerikan dan membuat tidak nyaman--pemuda berwajah tirus itulah yang terpilih untuk menolongnya. Ck.

Masih belum beranjak dari bawah meja praktek, ia mengulurkan tangan kanannya dan mengambil Mandrake yang disodorkan Lazarus. "Terima kasih," gumamnya lirih, kemudian tanpa mendongak lagi, Amanda memundurkan tubuh, menyelundupkan diri sepenuhnya ke bawah meja--lagi--alih-alih keluar. Well, tidak sepenuhnya juga sih, mengingat ukuran meja yang tidak terlalu besar. Yang pasti, wajahnya tak berada di luar, tersembunyi di bawah bayangan. Nervous. Untuk kesekian kalinya. Ke-nervous-an yang tak berdasar, tak memiliki alasan konkret mengapa timbul. Selalu begitu, setiap kali bertemu dengan-- you know. Gadis cilik itu menghela nafas, terdiam, tak menghiraukan tumbuhan jelek yang tengah meronta-ronta dalam genggamannya. Semua bermula di danau, saat terjadi insiden hujan-lalu-jatuh-ke-danau yang benar-benar mentasbihkan dirinya sebagai seorang penderita sindrom ceroboh akut, dimana saat itulah ia dapat melihat sisi positif dari seorang Lazarus, yang--entah, menjadikan perasaannya campur aduk. Hanya rasa terima kasihkah, atau... ada sesuatu yang lain? Jawaban dari pertanyaan itulah yang belum ia temukan, masih tersimpan rapat-rapat di balik pintu kenaifan dan ketidakmengertian yang terkunci rapat.

Amanda berseru pelan ketika sesuatu mengait kaki kanannya yang tanpa ia sadari terjulur ke luar meja. Suara debaman seseorang atau sesuatu jatuh membuatnya tersentak, terbangun dari lamunan, menoleh cepat dan...

JEDUUKK!

Oh Tuhan, semoga dosa-dosanya diampuni. Pandangannya berkunang-kunang, nyeri menjalar ke seluruh tubuh akibat benturan yang kedua kali. Sudah cukup. Saatnya keluar, jangan sampai terjadi hal-hal yang lebih buruk. Ia merangkak menuju cahaya--bukan ke arah Lazarus berdiri, sebaliknya--menyeret sang Mandrake, berjengit berkali-kali mendengar jeritan tumbuhan tersebut yang tak jua melemah, sembari mengusap-usap bagian atas kepalanya. Benjol, pasti. Setelah sampai di tepi meja, ia bangkit dengan sedikit terhuyung, mengerjapkan matanya yang berair. Herbologi kali ini benar-benar menyiksa. Amanda menarik nafas dan menghembuskannya melalui mulut, meringis ketika menyadari siapa yang tengah berdiri di hadapannya. Larry. Sayangnya ia sedang tak dalam kondisi yang baik untuk berbincang, kepalanya luar biasa pening, dan sepertinya mual mulai menyerang perutnya. Jadi ia hanya tersenyum lemah, menepuk lengan sahabatnya pelan, kemudian dengan langkah gontai kembali ke tempatnya semula. Mari kita selesaikan dengan cepat, pulang ke kastil dan tidur.

Amanda menarik pot berisi tanah berhumus baru yang memang telah disiapkan, kemudian dengan frustasi mencampakkan sang Mandrake ke dalamnya, menimbunnya banyak-banyak dengan tanah. Jeritan terhenti. Entah karena ia berhasil atau si Mandrake telah mati karena terlalu lama tercabut dari tanah. Masa bodoh. Yang penting ia sudah melaksanakan instruksi yang semestinya. Anak perempuan berambut cokelat itu menelungkupkan wajah ke meja, bertelekan pada lengan kirinya. Lelah. Ngomong-ngomong, siapa atau apakah yang terjatuh akibat tersandung kakinya tadi, eh? Well, siapapun itu, ia minta maaf. Semoga tidak ada yang terluka. Ia memejamkan mata. Huft. Hari ini kelihatannya adalah hari sial untuknya. Badannya sakit semua.

Labels: ,


6:35 PM