Thursday, April 9, 2009

Highbury Crescent No. 4, Islington-#6

Pernahkah kau mendengar suatu fakta yang kau tahu benar-benar mustahil? Mendapatkan informasi secara mendadak dan benakmu akan dipenuhi hal tersebut dalam jangka waktu yang lama, padahal semua itu bohong? Amanda pernah. Barusan.

Dan asal kau tahu saja, itu menyesakkan.

Gerakan tangannya terhenti, mengambang di udara saat kalimat yang diucapkan sang paman menelusup ke dalam telinganya, meresap ke dalam hati. Pemuda di hadapannya, Leander, adalah kakaknya? Oh, are you kidding me, Uncle? Amanda mendengus samar, tersenyum kecut sejenak kemudian melanjutkan apa yang telah ia mulai, menyeka luka yang tergurat di wajah Leander--perlahan dan penuh konsentrasi. Luka-luka itu jelas telah terukir di sana sejak lama meskipun memang ada beberapa yang tergolong baru. Ada apa sebenarnya? Mengapa Paman Amethyst mengatakan bahwa Leander adalah kakaknya? Amanda tidak bodoh, dan ia tahu apa yang diucapkan sang paman hanya kebohongan belaka. Bagaimana bisa ia memiliki seorang kakak padahal dirinya telah ditasbihkan sebagai Steinhart terakhir yang tersisa? Tolong jangan memberinya harapan kosong seperti itu, Paman, karena apa yang kau lakukan dapat mengiris hatinya menjadi serpihan.

"Kulihat kau tak percaya, dear, Amanda," tukas Paman Amethyst. Amanda terdiam, merendam sapu tangan dalam genggamannya ke dalam wadah untuk terakhir kali. Selesai. Wajah di hadapannya tampak lebih baik. Namun tidak dengan hatinya sendiri, rasa sesak memenuhi rongga dadanya sekarang. Tentu saja ia tak percaya, Paman Amethyst tersayang. Apa buktinya? Gadis itu mendongak sekilas--tak sengaja sebenarnya--namun tatapan yang tercermin dari kedua mata Leander membuatnya tertegun. Pandangan itu. Kecewa. Ya, yang terpasang di mata kecokelatan itu adalah tatapan kecewa. Karena apa, ia tak mengerti. Amanda memejamkan mata, berusaha menjernihkan pikiran. Semua hal yang diajukan kepadanya secara beruntun ini membuat kepalanya pening. God, ADA APA SEBENARNYA?

"Pa--paman... Benarkah gadis ini adalah Amanda? Ah, tentu saja, bodohnya aku," suara Leander terdengar lirih. Amanda membuka mata. Kini pemuda itu telah duduk, sepertinya kekuatan yang ia miliki telah kembali sepenuhnya. Sudut mata Amanda menangkap gerakan sang paman yang menganggguk, menjawab pertanyaan yang diajukan. "Apakah kau sama sekali tak ingat padaku?" bisik Leander. Menggeleng, Amanda--yang benar-benar bingung sekarang--memandang pamannya, Nathaniel, dan Leander bergantian, meminta penjelasan.

"Baiklah, baiklah. Agar semua menjadi jelas, dengarkan penjelasanku baik-baik," ucap Paman Amethyst seraya menghembuskan nafas melalui mulut. "Amanda, perkenalkan. William Leander Steinhart, 24 tahun, kakakmu, dan aku berani bersumpah bahwa apa yang kukatakan adalah fakta. Leander dinyatakan menghilang dan tewas oleh Kementerian Sihir--ia adalah seorang Auror--sejak tujuh tahun yang lalu, tetapi ternyata? Itulah yang sedari tadi ingin kutanyakan, Leander. Apa-yang-sebenarnya-terjadi?" Mendengar pernyataan sang paman, Amanda terkesiap, jantungnya seakan hendak meledak mendengar semua itu. Benarkah? Benarkah pemuda di hadapannya adalah kakaknya? Tunggu, tapi... Masih ada sesuatu yang tidak jelas...

Leander berdeham, lalu memulai penjelasannya, "Selama tujuh tahun ke belakang, sejak pertama kali bertugas untuk kementrian, dengan bodohnya diriku tertangkap, disekap dan diasingkan di suatu tempat. Well, tempat yang tak terdeteksi, tak tercantum di peta, dan dilindungi oleh proteksi sihir hitam yang luar biasa kuat, dan baru tadi malam, setelah penantian selama tujuh tahun, akhirnya kecerobohan itu terjadi, dan kesempatan untuk lolos terbuka lebar--err, bisakah kita membicarakan hal tersebut lain waktu? Seperertinya ada yang lebih penting yang harus diluruskan." Amanda dapat merasakan pandangan pemuda itu terpancang pada dirinya, namun ia tak berani mengangkat wajah, tertunduk.

"Lalu bagaimana bisa selama ini aku tidak tahu?" tanyanya dengan suara tercekat, ia dapat merasakan kedua matanya memanas. Oh, yang benar saja Amanda. Hening. Selama dua menit tak ada yang bersuara, yang terdengar hanya detak jam dinding ruang keluarga. Cepat jawab, Paman. Ayolah...

"Aku memodifikasi ingatanmu."

Berjuta pisau seakan dihujamkan di sekujur tubuh Amanda, ia merasakan dirinya terjatuh ke dalam lubang tanpa dasar ketika akhirnya jawaban tersebut terucap. Paman... memodifikasi ingatannya? "Kau... tega sekali... sungguh..." tuturnya lirih, mata gadis itu berkaca-kaca.

"Hanya untuk kebaikanmu, Amanda, maafkan aku... Aku tak ingin kau menerima sebuah kesedihan lagi--" dan kalimat pamannya itu tak pernah selesai, karena tepat saat itulah tangis Amanda pecah, isakannya bergaung di seantero ruangan. Selama ini ia dibohongi... Selama ini ia punya seorang kakak, tetapi sama sekali tak ada yang memberitahunya... Sebenarnya ia tak sebatang kara... Sebenarnya--

Detik berikutnya bahunya telah direngkuh, Leander mendekap tubuh gadis cilik itu, erat. Amanda tertegun, air matanya tetap mengalir deras, membasahi kedua pipinya. "Hei, apakah semua itu masih menjadi sesuatu yang penting, Amanda?" bisik Leander--kakaknya, "Aku disini sekarang, rite? Dan aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi, apapun yang terjadi. Apakah itu belum cukup?"

Isakan itu tetap ada, namun kali ini dilengkapi dengan senyuman. God, terima kasih banyak...

Labels: ,


1:04 AM