Thursday, April 9, 2009

Highbury Crescent No. 4, Islington-#4

Bara api meretih dan berderak. Asap kelabu membumbung, menerobos barisan dedaunan yang menggantung rapat, terbawa angin menuju langit. Polusi. Nathaniel terbatuk, mengibaskan tangan kanannya di depan wajah untuk menghalau gas menyesakkan yang tercipta dari pemanggang di hadapannya. Payah. Ia melirik sang ayah yang terlihat begitu asyik mengutak-atik bagian bawah pemanggang, sembari sesekali mengayunkan tongkat, menjaga agar bara tak padam. Duh, jadul banget sih, Dad. Mengapa tak membeli pemanggang listrik saja, eh? Mahal tentu bukan alasan, tak ada yang berani membantah bahwa keluarga Gladstone merupakan keluarga terpandang yang memiliki banyak aset di seluruh Inggris dan uang bukanlah suatu masalah besar bagi mereka. Satu hal yang ia prediksi menjadi latar belakang mengapa segala barang yang terdapat di rumah ini selalu berlabel 'kuno' hanya satu : kesederhanaan. Ya, sederhana, poin kesekian dalam daftar prinsip keluarga Gladstone. Maaf, bukannya ingin membantah, tentu saja tidak. Hanya saja, mengenai kasus pemanggang ini, benaknya bertanya mengapa harus merepotkan diri sendiri jika kemudahan telah tersedia. But, well, Dad memang tak pernah mau mengerti.

Sudut matanya menangkap siluet sang sepupu, gadis itu bangkit, menghampiri 'senior' Baned dan menarik lengan anak lelaki tersebut, membawanya mendekat. Tidak heran. Begitulah seorang Amanda Steinhart bersikap, selalu tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini, tak pernah canggung dalam bersosialisasi. Amat bertolak belakang dengan Nat, yang notabene berteman dengan kekakuan dan ketidakluwesan dalam berbicara, imbas dari sikap waspada yang menguar dari dalam hati. Mungkin.

Bunyi 'tar' familiar terdengar, Phoebus muncul dengan kotak plastik berisi daging di tangan, menyerahkannya pada Amanda, kemudian menghilang lagi dalam waktu singkat setelah membungkuk dalam-dalam--tipikal peri rumah. Semuanya sudah siap kalau begitu? Bagus. Sinyal baik bagi perutnya. Nat hanya terdiam memperhatikan ketika sepupunya mulai melaksanakan kegiatan panggang-memanggang, aroma nikmat membuatnya menelan ludah. Lapar. Dan saat itulah bel berbunyi.

Ada tamu lagi? Memangnya berapa orang yang Amanda undang, eh? Kedua manik kecokelatannya menatap punggung sepupunya saat gadis itu berlari ke arah pintu belakang, mengajukan diri untuk membukakan pintu. Yah, terserah juga sih. Semakin ramai semakin seru. Well, kepergian Amanda ke pintu utama mengartikan satu hal. Nat-lah yang sekarang harus bertindak sebagai tuan rumah yang baik. Ba--bagaimana caranya? "Um, silahkan makan--err... Jangan sungkan--" Halah, sial. Ia tak mahir memilih kata-kata. Sebuah tepukan di bahunya menggerakkan engsel lehernya ke samping. Senyuman simpul tersungging di wajah Dad, sepertinya sang ayah ingin menertawakannya. Ck. Fine, silahkan deh.

"Kau harus belajar lebih keras untuk menjadi tuan rumah yang baik, Nak," ujar Amethyst Gladstone, untuk kesekian kalinya di hari ini tongkatnya terangkat, melambai beberapa kali lagi. Piring-piring memposisikan diri di atas meja, barbekyu yang sudah matang melayang dari panggangan menuju masing-masing piring. "Silahkan, Anak-Anak. Jangan sungkan," ujar pria itu kepada ketiga teman keponakannya, dan jentikan selanjutnya menghadirkan tiga gelas es krim yang menggiurkan, mendarat di hadapan tiap-tiap anak.

Nat memandang segalanya dengan takjub. Kepingin. Ia baru saja hendak bergumam, meminta es krim juga pada sang ayah, ketika sebuah teriakan membelah siang, membuatnya tersentak. Amanda? "PAMAN AMETHYST! Cepat kemari, Paman!" Nathaniel bertukar pandang dengan ayahnya, dan seakan dapat membaca pikiran satu sama lain, mereka berdua melesat menuju pintu belakang, bergegas melintasi ruangan-ruangan besar di dalam rumah. Terkesan tidak sopan memang, meninggalkan tiga orang tamu tanpa basa-basi. Maaf. Tetapi firasat Nat mengatakan, toh ketiga orang tersebut kemungkinan besar juga turut pergi ke pintu utama. Intonasi panik yang terdengar dari suara Amanda membangkitkan rasa khawatir di hatinya. Ada apa?

Nat menubruk punggung sang ayah ketika pria itu berhenti secara amat tiba-tiba. Uh. Ada sesuatu di dekat pintu, ia tahu, tapi ap-- Anak lelaki dua belas tahun itu tertegun, sensasi meremang merambati tubuhnya saat menyaksikan sesosok tubuh terbaring begitu saja, dengan Amanda berlutut di dekatnya. Nat bergerak hendak maju, namun Dad merentangkan tangan kanannya, memberi isyarat agar ia tetap di tempat. Oh, baiklah.

Dad melangkah perlahan, kemudian berjongkok di samping Amanda, memberi gestur dengan tangan agar gadis itu menjauh. Menahan nafas, pria itu menyentuh bahu sang pemuda yang terbaring, dalam satu gerakan cepat ia mengangkat tubuh tersebut dan membalikkannya agar dapat mengenali siapa sebenarnya yang secara tiba-tiba datang dan menggemparkan seisi rumah. Dengan heran Nat melihat ayahnya terkesiap, kedua matanya terbelalak tak percaya. "For God's sake, LEANDER!" seruan Dad membuat kening Nat berkerut. Leander?

"Ya, Paman. Aku kembali, sesuai janji," bisik pemuda yang masih terbaring, dengan nafas terengah. Paman. Orang itu memanggil ayahnya paman? Pemuda yang disebut Leander oleh Dad tersebut mengerang, Nat dapat mendengar nafasnya yang putus-putus. Benar-benar tercengang, ia hanya terpaku, tersadar saat ayahnya berseru, "Nathaniel, bantu aku untuk membawa Leander ke sofa ruang keluarga. Cepat!"

Ah ya, tentu saja Dad. By the way, siapa sih Leander?

Labels: ,


12:36 AM