Highbury Crescent No. 4, Islington-#3...this sweet relief, unexpected things
Is this the end or only the beginning?
Sayap lembut itu mengepak anggun. Semilir angin berbisik, menghembus perlahan, menyentuh sang elemen rapuh kebiruan dengan bijak. Lihat.
Kupu-kupu.
Amanda mengerjapkan mata sekilas, terpana. Cantiknya. Makhluk Tuhan berwarna kebiruan tersebut tengah melintas di depan mata sang gadis tiga belas tahun, menebarkan pesona tak terduga, membawa sesuatu yang tak biasa. Aneh, sungguh. Hadirnya seekor kupu-kupu bukanlah hal yang lumrah terjadi di Highbury Crescent nomor empat. Serius. Pertanda? Perhaps. Mungkin. Jika benar begitu ia berharap yang akan terjadi adalah sesuatu yang baik, amin.
Well, ya, semoga.
Apparate. Jadi begitu. Amanda nyengir ketika mendengar Prefek McAfferty berujar bahwa ia tak terlalu menikmati perjalanan akibat cara yang ditempuh. Binar di mata Amanda berubah meredup saat mendengar Trixie berbicara, mengungkapkan bahwa gadis unik itu mabuk udara. Astaga. "Minumlah, Trix. Kau butuh istirahat, segera," tuturnya. Apakah temannya tersebut tak apa-apa jika ikut memanggang barbekyu terlebih dahulu? Mudah-mudahan tidak.
Sebuah suara yang amat familiar mendarat di telinganya, menghantarkan lehernya untuk menoleh. Nah, ini dia. Amanda tersenyum pada sepupunya, menyambut sejumlah piring yang anak lelaki itu serahkan, kemudian berujar kepada kedua tamunya, "Prefek McAfferty, Trixie, perkenalkan sepupuku, Nathaniel Gladstone. Naik kelas dua, Gryffindor." Sudah kenalkah mereka? Entah. Namun sepertinya Nat bukan tipe orang yang mudah membuka diri sehingga kemungkinan besar namanya tak terdengar di Hogwarts. Kecanggungan jelas tampak dari raut wajah Nat, juga dibuktikan dengan sikapnya yang segera berbalik dan lebih tertarik untuk bergabung bersama Paman Amethyst. Ho, ya sudah, tak apa-apa. Anak itu memang sulit beradaptasi dengan orang asing. Suara retihan api menyentakkannya. Apa i-- Sudah siap? Bagus. Lebih baik kita mulai.
Amanda bangkit dari duduknya, namun gerakannya terhenti di tengah-tengah. God, bagaimana ia bisa lupa? Larry belum datang. Tidak, tidak, tidak akan dimulai jika sahabat terbaiknya itu belum hadir. Gadis berambut kecokelatan tersebut memutar tubuh ke belakang, berharap pintu belakang terbu--
Ternyata anak itu sudah datang.
Senyuman lebar merekah, Amanda melambaikan tangan dengan antusias ke arah sosok yang dimaksud. Mengapa Larry tidak langsung menghampiri meja saja sih? Ia berlari ke arah sang remaja berambut ikal, nyengir dan berkata, "Hei, kenapa tak langsung kesana, Larry?" Setelah itu, tanpa ragu-ragu dan tanpa kata menggamit lengannya, kemudian menariknya--menyeret lebih tepat--menuju meja piknik. "Baiklah, ayo kita mulai, kawan-kawan." Ia melepaskan genggamannya pada lengan Larry, lalu menjentikkan jari sekali. Sesosok peri rumah muncul dengan membawa kotak plastik berukuran sedang, berisi daging. Hmm... Great. Menit berikutnya Amanda telah sibuk berkutat dengan panggangan, repot membolak-balik daging, diiringi oleh sang paman yang bertugas menjaga bara api. Well, panggangan tua, benar-benar tua. Ia pun tak habis pikir mengapa Paman Amethyst tak membeli pemanggang listrik saja. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba sebuah suara bergema berulang-ulang dari dalam rumah.
Bel berbunyi.
Siapa gerangan? Amanda memberi isyarat dengan tangan kepada kelima orang disana, mengisyaratkan biar-ia-saja yang membuka pintu dan mencari tahu. Langkah kaki kecilnya berderap melintasi rerumputan, melewati ambang pintu belakang, melintasi dapur, ruang keluarga, hingga akhirnya tiba di lobi depan, berhadapan dengan daun pintu utama. Suara bel masih bergaung, seakan ditekan berulang-ulang tak wajar. Eh? Siapa sih? Ia mengerutkan kening. Sabar, woi. Tangan kanannya bergerak, menyentuh gagang pintu, kemudian menariknya hingga terbuka. Dan tersentak.
Amanda terkesiap, kedua matanya melebar dan mulutnya terbuka saat melihat sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Seorang pemuda, berpakaian lengkap ala penyihir, namun jubahnya telah benar-benar terkoyak tak beraturan, dan wajahnya--yang benar-benar membuat hati Amanda mencelos--terluka parah. Lebam biru menghiasi mata kiri sang pemuda, sementara salah satu sudut bibirnya mengeluarkan darah merah pekat. A--astaga, siapa orang ini?
"Amethyst, Amethyst Gladstone... ada?" pemuda itu bergumam lirih dengan suara serak, erangan samar terlontar pula dari mulutnya. Amanda, syok luar biasa, dapat merasakan tangannya mulai gemetar, namun tubuhnya tak mampu bergerak. Ia menatap lelaki paruh baya di hadapannya dengan tatapan ngeri, nafasnya tercekat saat melihat sosok tersebut mulai melangkah maju. Ba... bagaimana ini, apa yang harus ia lakukan? Tetap bergeming di tempatnya seraya merutuki kedua kakinya yang tak bersedia bekerja sama, ia membuka mulut untuk berteriak memanggil sang paman, tetapi suaranya terhenti di kerongkongan saat menyaksikan hal yang terjadi berikutnya.
Pemuda itu ambruk, jatuh bersimpuh tepat di depan kaki Amanda, membuat gadis itu terpekik dan secara refleks mundur selangkah ke belakang. Jantungnya berdebar begitu cepat dan keras sekarang, berdentum-dentum memukul dadanya bagai godam. Terlihat jelas pinggang pria itu juga terluka parah. Gawat. Akhirnya, menemukan suaranya kembali, Amanda berteriak, "PAMAN AMETHYST! Cepat kemari, Paman!" Cepatlah, tolong...
Masih gemetar, ia kemudian berlutut, sedikit membungkuk, lalu berbisik, "Si... siapa kau?"
Labels: Highbury Crescent No. 4-Islington, Steinhart