Garden Party-#4"Ah, tidak! Aku tidak apa-apa!" Pernyataan yang ia tunggu. Bagus sekali. Dalam suasana hati seburuk saat ini, mendapat masalah akibat melukai seorang gadis adalah hal terakhir yang ingin ia temui. Apa yang akan dikatakan Dad apabila ayahnya itu mengetahui bahwa sang Gladstone junior mendorong anak perempuan hanya karena kakinya terinjak? Well, gelengan kepala kaku, pidato panjang lebar, berlembar-lembar perkamen mengenai tata krama, dan lain-lain, dan lain-lain. Enough. Memikirkan hal tersebut membuat kepalanya sakit. Nathaniel mengangkat tepi bibirnya seminimal mungkin, hanya memberi isyarat bahwa ia mendengar, sementara kakinya masih berdenyut parah. Ck.
Kali ini giliran gadis cilik itu yang bertanya apakah Nat baik-baik saja. Anak laki-laki berambut hitam tersebut hanya mengangkat bahu, memandang anak perempuan di hadapannya dengan tatapan dingin apakah-kau-tak-dapat-melihat, mendengus campur berjengit dalam waktu bersamaan, baru saja akan melontarkan komentar sinis ketika sang hati nurani akhirnya datang--
Tak sadarkah kau bahwa dirimu juga bersalah, eh, Nathaniel Gladstone? Tuh kan. Ya, ia juga bersalah, tentu saja. God, biasanya ia tidak bersikap antagonis seperti ini, sungguh. Emosinya bangkit lagi akibat rasa sakit, menjadikan otak
reptilenya lah yang berkuasa dan mengambil alih. Tidak boleh. Cepat singkirkan, Nat. Fine, laksanakan strategi pereda amarah. Ia menarik nafas dalam-dalam, hingga udara bersih halaman kastil memenuhi rongga
pulmonya, kemudian menghembuskan kembali melalui mulut. Just reverse. Setelah dirasa cukup dan hati serta benaknya mulai lapang, Nat menegakkan tubuh, berdeham, dan menggumam, "Aku baik-baik saja."
"Ah, err... gimana-oh, iya! Aku Aurore Marvil, panggil saja Ro. Slytherin kelas satu. Umm..." Ro? Oke, sekarang ia tahu harus memanggil gadis itu apa. Nat memicingkan mata, menelusuri wajah di hadapannya. Hm, Slytherin. Asrama yang paling ia waspadai, penghuni asrama tersebut selalu ia teliti berulang kali sebelum keramahtamahan miliknya mendapat izin untuk terlontar. Namun... entah ada angin apa, Nat merasakan hal yang berbeda dari Marvil, benaknya diasupi keyakinan bahwa gadis itu memiliki perilaku dan sifat yang sedikit berbeda dengan 'keluarganya'. Semoga keoptimisannya dibalas dengan kebenaran. Sebuah gerakan di lengan kemejanya membuat Nat menoleh, kedua alisnya terangkat. Ada apa la--
"Ah! Itu! Kita ke situ, dulu, yuk! Kuobati lukamu!" ujar Marvil, dan tak sampai dua detik berselang, tangannya tak lagi berada di sisi tubuhnya, telah ditarik paksa menghampiri sebuah pohon, kaki kirinya berdenyut nyeri akibat dipaksa melangkah cepat-cepat, terseret sang gadis. Astaga, tenaga anak ini besar juga.
"Tunggu, Marvil--Ro, pelan-pelan," seru Nat, berjengit sekali lagi. Aduh. Pohon yang dipilih tidak terlalu besar, tetapi terlihat nyaman untuk dijadikan tempat bernaung karena terdapat beberapa akar yang melandai, membentuk area datar yang dapat dijadikan tempat duduk. Nat melepaskan genggaman Marvil--ia tidak terbiasa memanggil nama depan seseorang yang baru saja ia kenal, maaf--dan segera menghenyakkan diri di atas tumpukan dedaunan, tak peduli apakah ada sesuatu tak biasa yang tanpa sengaja ia duduki--oh, masa bodoh. Busur peraknya ia letakkan begitu saja di atas rerumputan. Secara sembunyi-sembunyi bulir kecokelatannya melirik kaki gadis asrama ular tersebut, mencoba mencari tahu apa yang Marvil kenakan sampai-sampai menimbulkan rasa sakit di atas rata-rata. No high heels. Nat mengernyitkan hidung heran. Apa sebutan untuk jenis sepatu seperti itu, eh? Flat shoes mungkin? Apapun itu, sangat mengejutkan mengetahui sepatu pink beludru tersebut dapat membuat--err, coba kita periksa. Ia berkutat membuka sepatu bot sebelah kirinya, berharap tak terlalu parah--tidak, tidak parah. Tentu saja. Hanya memar. Tetapi 'memar' itu dapat dikatakan luar biasa, karena ditimbulkan hanya oleh sebuah sepatu anak-anak dari beludru. Amazing.
Ck. Lihat saja. Bagaimanapun caranya, gadis itu harus bertanggung jawab menyembuhkan kakinya, aset paling berharga dalam hidupnya. Sepakbola amat bergantung pada sang kaki, rite? Ngomong-ngomong sepakbola, ia jadi ingat. Amanda--sepupunya itu sama sekali tak mengejarnya? Dari kejauhan terlihat sosok anggota keluarganya itu, dan disampingnya... Ah, ya. Ya, ya. Of course. Tak perlu dikatakan lagi. Baned. Nama dengan lima huruf, B-A-N-E-D. Rahang Nat kembali mengeras, punggungnya ia sandarkan pada batang pohon di belakangnya, pasukan panah yang tersampir menimbulkan bunyi berderak samar. Ia tak percaya. Amanda benar-benar tak peduli. Sama sekali. Gadis itu lebih memilih berceloteh dengan seseorang yang baru dikenalnya selama hampir dua tahun dibandingkan memberikan kepeduliannya pada Nat. Sepupunya. Baik. Fine. Lupakan saja ia untuk selamanya, Amanda. Lagipula dirinya, Nathaniel Gladstone, tidak butuh
kau.
Emosi. Lagi.
Nat memejamkan mata kesal, tangan kanannya mengambil sebongkah batu berukuran sedang, kemudian melontarkannya ke depan sekuat tenaga, mencoba melepaskan rasa frustasi yang meluap, tak mau ambil pusing dimana benda itu akan mendarat. Cukup puas, anak laki-laki tersebut menoleh ke samping. Menyadari bahwa Marvil masih berdiri, ia menggamit lengan gadis itu, menariknya pelan, seraya berujar, masih dengan nada penuh emosi, "Kau. Duduk disini. Jangan pergi." Saat ini ia butuh seseorang sebagai teman. Siapapun, terserah.
Labels: Garden Party, Gladstone