Wednesday, April 8, 2009

Garden Party-#3

Ia baru sadar. Event kali ini adalah lomba masak dan pesta kostum, oke, Amanda tahu bagian itu. Tetapi sama sekali tak ada yang memberinya informasi bahwa juga akan ada-wew-crossdress. Beberapa kali kedua matanya terkerjap, tawanya terlontar lirih saat melihat satu-dua pelayan melintas. Itu--ya ampun. Pelayan gadis secara seragam mengenakan kostum butler, dengan dasi kupu-kupu dan celana panjang--keren. Serius, keren. Ia sendiri tak akan keberatan jika ditetapkan untuk mengenakan kostum seperti itu. Namun sebaliknya, para anak laki-laki--dengan kostum maid? Oh, yang benar saja. Tak tahan untuk tidak tertawa terpingkal, ia membalikkan tubuh ketika tanpa sengaja melihat seorang cowok berkostum pelayan perempuan berjalan dengan 'anggun' di hadapannya, tak ingin dianggap mencemooh. Amat tidak pantas dan menggelikan, kau tahu? But, fine, tidak baik melecehkan keputusan panitia acara ini a.k.a para siswa asrama singa, ia yakin mereka hanya ingin memberikan yang terbaik bagi para peserta dan penonton--menghibur, lebih tepatnya.

Amanda menoleh ketika merasakan topinya lenyap dari pucuk kepalanya, sebuah seruan yang amat dikenalnya terdengar dekat. Ah, ini dia. Larry telah berdiri di hadapannya, menunjuk ke spot peserta sembari berujar, "Kakakku." Amanda mengangguk, mengerling ke arah Prefek Baned sekilas, senyuman tersungging di wajahnya. "Ya, kakakmu. Orang hebat dia, eh?" sahutnya, mengedikkan bahu ke arah yang sama dengan yang ditunjuk sahabatnya. Ekor kudanya bergoyang saat ia menelengkan kepala, melirik ke arah topi favoritnya yang tengah berada dalam kuasa genggaman pria musang yang satu itu. Rasanya amat berbeda mengikat rambut seperti ini. Aneh. Lebih sejuk dan ringan, ia akui, tetapi lehernya terasa 'kosong', tak ada lagi yang jatuh mendampinginya di kedua sisi. Menyeringai, tangan kanan gadis itu menyambar topi miliknya dengan cekatan, memutar benda tersebut seratus delapan puluh derajat hingga menyentuh bagian lidah, kemudian tanpa basa-basi memasangkannya di atas kepala Larry, diakhiri dengan tepukan seperti biasa. Cocok. "Bagus, Kawan," ungkapnya, nyengir.

Cengiran tersebut berangsur-angsur lenyap, mulutnya membulat saat sesosok 'Robin Hood' tiba-tiba muncul, lengkap dengan busur dan panah, mendengus dan menggelengkan kepala. Well, akhirnya yang ditunggu datang juga. Ia tertawa lepas melihat kostum yang dikenakan Nathaniel, sedikit tak percaya sepupunya benar-benar serius menanggapi taruhan yang ia ajukan beberapa hari yang lalu--"Sengajakah kau membuatku bertaruh, eh, Amanda? Ingin mempermalukanku? Well, aku harap kau puas." Eh? Amanda terdiam, terkesiap, sama sekali tak menyangka akan menerima reaksi seperti itu, terlebih saat Nat pergi dengan langkah cepat. Amanda tahu anak laki-laki itu marah. Marah sungguhan.

"Nathaniel! Tunggu," serunya keras, memberi tatapan tunggu-sebentar kepada Larry, lalu mulai melangkah secepat yang ia mampu, mengejar sepupunya. For God's sake, ia tak pernah memprediksi Nat akan semarah itu. Ia hanya bercanda, hanya ingin Nat sedikit keluar dari rutinitas hidupnya yang selama ini datar-datar saja, hanya ingin melihat penampilan berbeda dari sepupunya. Salahnya karena tak memperhitungkan sifat anak laki-laki itu yang tak senang menjadi pusat perhatian orang, Amanda lupa, sungguh. Bodoh kau. Bodoh. Bodoh. Langkahnya melambat dan akhirnya terhenti ketika melihat sang sepupu ditarik oleh seorang gadis, entah siapa. Apa yang-- Oke. Ia paham. Mungkin sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan. Nat punya kesibukan sendiri. Kedua mata Amanda meredup, helaan nafas bingung terhempas. Kedua kakinya berputar haluan dengan gontai, rasa bersalah berdentam di sekujur tubuhnya. Gawat kalau sampai Nat betulan merajuk, sulit untuk mengembalikan kebaikan hatinya ke taraf normal.

Amanda menepuk bahu Larry, berkata lesu, "Nat marah." Gadis Ravenclaw itu tertunduk, menghembuskan nafas, tangannya melepas ikatan rambutnya. "Bego. Aku bodoh, tahu tidak, eh?" ujarnya, lebih kepada diri sendiri. Sebuah suara terdengar sayup-sayup dari arah para peserta berdiri dan bekerja berkelompok. Seorang senior berambut pirang tengah berteriak-teriak tak jelas. Namun dari patahan kata yang terbawa angin dan sampai di telinga Amanda, yang sedang diteriakkan sang senior adalah--surat cinta. Ya, surat cinta plus komentar untuk senior Claymer. Rangkaian katanya menggelitik, tetapi tak cukup memancing tawa Amanda. Payah. Seharusnya event ini ia hadiri untuk menyenangkan hati, ini malah-- Oh, sudahlah. Salah satu pelayan dengan butler lewat, entah mengapa menimbulkan rasa haus. Amanda memanggil gadis itu, memesan segelas minuman, apa saja, asal dapat mendinginkan kerongkongkan dan hati bila mungkin. "Kau mau juga, Larry?"

Labels: ,


7:35 PM