4-4-2-#8Dasar anak perempuan. Setelah menjalankan strategi alias mengoper bola kepada senior Corleone, Nathaniel mengerling tepi halaman, menaikkan kedua alisnya. Banyak yang menonton ternyata. Dan mayoritas, well you know, cewek. Hanya ada seorang anak lelaki nyasar di sana, senior. Ralat, tidak nyasar sih. Sah-sah saja jika ada seorang anak lelaki menyaksikan pertandingan sepak bola, amat wajar. Yang menjadikan hal ini tak biasa hanya kekontrasan serta presentase gender penonton. Satu, dua... Genap enam orang gadis--Amanda tidak masuk kuota--ditambah itu tadi, satu orang pemuda. Apakah memang sepakbola lebih digemari oleh kaum hawa, eh? Oh, please. Cukup membahas sesuatu yang tak penting.
Well, well, coba tebak siapa yang berdiri di tepi halaman sana, turut mendaftarkan diri dalam daftar penonton. Gadis di kompartemen. Gadis egois dan seenaknya sendiri. Nat meraba bahu kirinya, berjengit saat menyadari bahwa bagian tubuhnya tersebut belum sembuh sepenuhnya. Ya, gara-gara cewek itu, yang karena kecerobohan bodohnya menyebabkan koper-koper terjatuh dari tempat penyimpanan kompartemen, salah satunya menimpa bahu Nat dengan keras, membuat tulangnya di area tersebut ngilu hingga saat ini. Sial. Semoga anak perempuan itu tak mencari gara-gara kali ini.
Suara benturan nyaring mampir di telinga, membuatnya terlonjak. Apa yang-- Di hadapannya terlihat sang senior Corleone bertubrukan dengan Baned, membuat striker timnya itu jatuh terjungkal. Ck, ada-ada saja. Peluit ditiup. Bagus, Amanda kompeten sebagai wasit. Setengah berlari, Nat bergerak menghampiri kedua murid satu tahun di atasnya tersebut, sedikit membungkuk untuk mencari tahu apakah ada yang gawat. Jika ada, wah, bisa timbul masalah. "Kalian tidak apa-apa?" Bukan pertanyaan sebenarnya--lebih menjurus kepada pernyataan berbau harapan. Ayolah, hal-hal di luar rencana bukan hal yang ia inginkan.
"Sepertinya kalian harus mencari pengganti. Kakiku terkilir." Kalimat yang terlontar dari mulut sang senior membuat tubuh Nat statis dalam posisinya, kedua mata kecokelatannya terpancang pada pegawai magang di hadapannya. Terkilir? Apakah itu berarti pertandingan harus berakhir sekarang? Ia menegakkan tubuh, mendesah bingung ketika senior Corleone mulai beranjak pergi. Entah apa yang terjadi dengan Baned, ia tak terlalu peduli.
Tersisa empat. Nat menatap para pemain yang berdiri di seluruh penjuru lapangan, satu persatu dengan pandangan bertanya. Jadi? Bantu ia untuk memutuskan. Apa mungkin harus diundi ulang? Jika ya, itu berarti harus ada salah seorang dari tim Joong yang turut terdepak--terpaksa ataupun tidak. Ia akan merasa tidak enak hati jika mengambil opsi yang satu ini. Well, kalau begitu, permainan memang lebih baik dihentikan, mungkin? Tidak adil apabila mereka tetap bermain sementara timnya pincang. Hell--enak saja.
"Okay, Senior. Boleh kugantikan?" Serius, kalimat yang terucap entah-oleh-siapa itu seakan menjatuhkan sebuah kunci dari langit, mendarat dengan mulus di lubang kunci pintu kelegaan yang otomatis terbuka, meloloskan kelesuan yang mulai menyerang. Dia. Masih. Ingin. Bermain. Sepakbola. Hanya karena seseorang cedera dan momen langka ini terhenti? No way. Katakan ia egois, bilang ia tak punya hati. Bukan begitu. Ayolah, apakah kau tak dapat mengerti bahwa ia amat rindu pada olahraga yang satu ini? Engsel leher Nat berputar seratus delapan puluh derajat, menemukan pemilik suara. Seorang anak lelaki, sebaya dengannya jika ditilik dari postur tubuhnya. Tersenyum dan mengangguk, Nathaniel menyahut, "Kau datang di saat yang tepat, Mate. Kau masuk timku." Beres seketika. Keberuntungan masih menyertainya rupanya.
Seringai puas terpasang, bertambah lebar saat keputusan sang wasit telah dideklarasikan. Tendangan bebas langsung. Great, tidak ada yang lebih baik daripada itu. Nat memandang sepupunya dengan tatapan bagus-sekali-terima-kasih-banyak, tanpa ragu membungkuk untuk menyambar sang bola, menempatkannya di tempat yang semestinya. Satu peluang emas. Kali ini tak boleh dan tak akan gagal lagi. Anak lelaki berambut hitam itu mundur dua langkah, mengambil ancang-ancang, menentukan titik tujuan di kejauhan. Tunjukkan kemampuanmu, my feet... Lengkingan peluit yang ditunggu akhirnya terdengar.
Hold a second. Kakinya urung menjejak ketika sesuatu membasahi kepalanya secara tiba-tiba, membasahi lengannya, bahunya--
Ah, hujan.
Tetesan air semakin intens, tempo dan frekuensinya bertambah cepat dan banyak. Ditingkahi oleh hujan yang menjadi deras secara tiba-tiba, Nat berlari, kaki kanannya menjejak dengan mantap, ia mengeksekusi tendangan bebas dengan sang kaki kiri. Bola meluncur menuju gawang. Fine, anggap saja umpan lambung.
Ini--terlalu deras, serius. Nathaniel mengusap wajahnya yang benar-benar basah, air mengalir turun dari kepala, menetes dari dagu dan hidungnya, jatuh ke rerumputan. Gemuruh pasukan hujan seakan membekap telinganya, mengaburkan pandangan pula. Astaga, Amanda. "AMANDA! Berteduh, CEPAT!" Ia berteriak, berusaha mengalahkan gemuruh. Gawat, jangan sampai gadis itu sakit. By the way, bagaimana nasib tendangannya tadi, eh?
Labels: 4-4-2, Gladstone