Thursday, April 9, 2009

4-4-2-#6

Right or wrong, at least he trust himself.

Nat mendarat dengan kaki kanan, kedua matanya menatap lekat pada sang benda hitam putih--ia tidak berkedip, serius--dengan harap-harap cemas. Perasaan ini--ah. Ia rindu akademi sepakbolanya. Ia rindu gemuruh penonton saat ia bertanding, terlebih lagi ketika ia mencetak gol. Ia rindu... Well, well, cukup. Perasaanmu kayak cewek, Nat, tahu tidak.

Ditangkap dengan mudah ternyata. Nat mendesah, memejamkan mata. Sial. Tanpa sadar ia melirik ke bawah, ke arah sepatunya, ke arah kaki kirinya. Sudah mulai tumpul rupanya, eh? Tiga musim tanpa sepakbola sepertinya sedikit berdampak buruk pada kemampuannya dalam penyelesaian akhir. Ck. Hal tersebut bukannya tidak mungkin, rite? Tidak ada latihan rutin, olah fisik, coaching clinic--tentu saja, apa yang kau harapkan dari Hogwarts jika berbicara mengenai sepakbola? Lapangan saja tidak punya.Yah, semoga asumsi bahwa kemampuannya mulai menurun itu tidak benar. Semoga itu hanya sebuah kepesimisan tak berdasar. Amin.

Fine, konsentrasi. Kali ini tim lawan akan mengambil alih, bisa gawat kalau--Goddamit, benar kan, kiper lawan menggiring bola, maju ke depan. Sendirian. Kepercayaan diri yang tinggi. Dan--oh, ia tak percaya--tidak ada yang menghadang. Great, apa fungsi ketiga teman Nat yang lain, eh? Ia berlari menghampiri senior Slytherin yang punya rasa percaya diri tingkat dewa itu, melebarkan kaki hendak merebut bola, atau setidaknya meloloskan bola dari penguasaan sang kiper--terlambat. Bola terlanjur melambung, dan dengan sukses diterima si Baned. Nat menyeringai. Apa sih yang bisa 'sahabat' Amanda itu lakukan, eh? Prediksinya : satu, mengoper. Dua, menendang bola dan out. Wohoo, seniornya itu ternyata memutuskan untuk menendang langsung, berarti yang akan terjadi adalah pilihan kedua. Lagipula, dilihat dari postur tubuh Baned, cara menendang dan lengkungan bola, mustahil deh kalau bola itu bisa ma--

No. Way.

"Haha, cara menendangnya seperti itu, Pelatih. Mana mungkin bisa masuk."
"Menurutmu begitu, hm, Gladstone?"
Nathaniel mengangguk yakin, senyuman meremehkan tersungging di wajahnya, matanya tak luput memandangi pemain amatir di tengah sana.
"Apa yang membuatmu berprediksi seyakin itu?"
"Tentu saja aku yakin! Pasti skillnya lebih buruk dariku. Aku bisa menendang jauh lebih baik, anak itu tidak pernah ikut akademi."
"Begitu."
Nathaniel mengangguk, tatapannya tetap lurus ke depan. Kedua matanya melebar tak percaya ketika menyaksikan peristiwa yang terjadi. Gol.
"Itu--pasti kebetulan, Pelatih--" ujarnya gugup.
"Dalam sepakbola tidak ada yang namanya kebetulan, Nak."
"A-aku... Berarti itu keberuntungan saja."
Ia benar, rite? Buktinya Pelatihnya tersenyum.
"Kau tidak akan menjadi seorang pemain sepakbola yang hebat, Gladstone."
Nathaniel tersentak, menoleh cepat, memandang sang pelatih tak percaya. "Pa-pardon?"
"Kau tak pernah mau mengingat prinsip ilmu padi yang selalu kutekankan. Mulai sekarang lupakan semua piala yang kau incar."
Anak laki-laki berambut hitam itu menelan ludah, menunduk menatap sepatunya. Ilmu padi?


"GOLL!!" Kedua manik kecokelatan Nat bergerak menyeberangi lapangan, memandang sinis seorang gadis di tepi lapangan yang barusan berteriak. Berisik. Ia terdiam melihat kegembiraan tim lawan. 1-0. Ia mendecakkan lidah dan berkacak pinggang, tersenyum kecut pada senior Theo saat sang kiper berkata bahwa ia kurang maksimal menjaga gawang. Jengkel. Bukan pada skor pertandingan, tapi pada dirinya sendiri. Ia selalu lupa pada ilmu padi. Semakin berisi semakin merunduk. Kalau begini terus ia tak bisa menjadi seorang pemain sepakbola yang hebat. Gawat. Introspeksi diri, Nat.

Ah, ya. The match must go on. Nat berlari menghampiri Corleone, berbisik di telinga seniornya tersebut, "Jadi begini, Senior. Strategi kita kali ini..." Selama beberapa detik ia menjabarkan salah satu strategi favoritnya, mengacungkan ibu jari setelah selesai, kemudian bergegas menuju tengah lapangan untuk melakukan kick off kembali. Di hadapannya telah berdiri Lazarus. Eh? Dimana striker satu lagi? Nat menoleh kesana kemari. Itu dia. Mengapa bukan dia yang--oh, ya sudahlah. Tidak ada salahnya juga.

Nat memutar leher, memberikan tanda pada Amanda untuk meniup peluit. Peluit berbunyi. First pass dilakukan oleh Lazarus, bola kini berada di kaki kanan Nat, ia menggulirkannya sedikit ke kiri. Tanpa basa-basi ia memberikan passing kepada Corleone, kemudian berlari ke depan, menghindari beberapa pemain lawan untuk mencari tempat yang tepat. Well, kali ini tidak boleh gagal lagi. Dan satu hal yang akan berusaha ia ingat. Jangan meremehkan orang lain.

(OOC : Berinteraksi dan mengoper bola pada Arvid. Anggap Amanda sudah meniup peluit. CMIIW =9)


Aih, reppan yang ini ketinggalan T_T

Labels: ,


3:51 AM