Wednesday, April 8, 2009

4-4-2-#7

[Wasit]
Sepoi-sepoi saja. Menggelitik bulu kuduk. Namun sekarang berderu. Eh?

Gadis cilik itu mendongak ke atas. Mendung. Siluet cahaya matahari memudar, seakan ada yang menurunkan tingkat kontras halaman kastil secara berangsur-angsur. Latar cuaca sepertinya akan segera berubah. Amanda menyelipkan rambut kecokelatannya ke belakang telinga, memicingkan mata menahan hembusan angin yang tiba-tiba menguat. Ya, berderu bahkan. Aneh. Ia merogoh saku, mengambil arloji kesayangan. Setengah sebelas. Hampir siang hari, namun sang matahari malah hendak menyembunyikan wajah, mengalah pada sang awan, membiarkan sahabatnya tersebut menyeruak ke barisan terdepan. Well, cuma prediksi. Yang ia lihat seperti itu.

"GOLL!!" Tersentak, ia mengerling ke arah teriakan--yang dilengkapi dengan suara tepuk tangan heboh-- tersebut berasal, sebelum berusaha menajamkan pandangan menatap pertandingan beberapa meter jauhnya di depan. Gol? Ah ya, benar. Bola lambung hasil tendangan Larry dengan sukses masuk ke gawang yang dijaga oleh senior Theo--bukan--lebih tepatnya berhasil masuk ke dalam area yang telah ditentukan merupakan gawang, meskipun tak kasat mata. Great. Sahabatnya berhasil. Senyum tersungging di wajah Amanda, mulutnya terbuka, hendak meneriakkan ucapan selamat--Hei, hei, ingat, mana ada wasit seperti itu? Kalimatnya terhenti di tengah perjalanan. Bodoh. Jangan memihak. Gadis itu berdeham, mengatupkan bibir saat melihat senior Theo memukul tanah kesal dan Nathaniel terdiam, sementara di sisi lain junior Asia dari tim lawan menepuk bahu Larry, terlihat senang. See? Amat sangat tidak nyaman menjadi wasit dalam pertandingan yang satu ini. Dilema.

Astaga, lupa. Amanda mengangkat peluit dan meniupnya, menandakan perubahan skor. 1-0 untuk tim Larry, 0-1 untuk Nat. "Hm, ada yang mau jadi komentator?" Suara seorang gadis membuat kepalanya menoleh. Komentator? Well, baru sekarang ia menyadari bahwa tim penonton telah bertambah anggota. Dua orang junior, satu senior, dan--ah, Duske. Ia melambai kepada Sienna, kemudian kembali berpaling kepada sang gadis yang barusan bertanya, menyahut seraya tersenyum, "Bagaimana kalau kau saja yang menjadi komentator, eh?" Hm, tetapi kalau dipikir-pikir, seorang komentator kemungkinan besar membutuhkan mantra Sonorus agar suaranya dapat terdengar dengan jelas. Agak sulit, terlebih lagi di dekat sini tak ada murid tahun keenam atau ketujuh. Tapi tidak ada salahnya sih, sekedar untuk para penonton sepertinya menarik. Kedua mata kecokelatannya menangkap isyarat dari Nat, saatnya meniup peluit. Sekali lagi peliut hitam ditiup, suaranya melengking membelah udara.

PRIIIIT!

Wow. Lazarus yang memulai? Serius nih? Entah mengapa Amanda sedikit terpaku melihat strategi tim Nat kali ini. Tidak, bukan karena Lazarus yang menjadi starter, ehm, tentu saja tidak. Seorang bek melakukan first pass terbilang unik, karena amat jarang dilakukan. Lazarus memberikan sentuhan pertama kepada sang bola, Nat bertindak sebagai penerima. Dan bisa diduga, selanjutnya benda hitam putih tersebut diberikan kepada Arvid--ya ampun. Amanda terkerjap. Itu--wah. Pelanggaran. Peluit kembali melengking.

PRIIIT!

Ia bergerak maju, menghampiri TKP--err, maksudnya titik dimana entah bagaimana terjadi insiden : Arvid dan Larry bertubrukan. Dengan cemas ia menatap kedua anak lelaki itu, menghela nafas berat ketika mendengar Arvid mengatakan bahwa kakinya terkilir. Duh. Ya, sepertinya Nat butuh seseorang sebagai pengganti. Pandangannya beralih, kali ini menatap Larry. Well, dapat disebut pelanggarankah yang barusan terjadi itu? Amanda menggigit bibir bawahnya, mencoba memutuskan. Hm... Baiklah.

"Tendangan bebas langsung, kawan-kawan. Untuk tim Arvid," putusnya, tanpa berani memandang siapapun. Semoga apa yang ia pilih tidak salah. Semoga. Gadis cilik tersebut mundur perlahan, melirik Arvid, siapa tahu anak itu membutuhkan bantuan--sepertinya tidak, ada Sienna. Secara tiba-tiba seorang anak laki-laki datang, bertanya apakah ia boleh menggantikan Arvid. Wew, super kebetulan. Sepasang alis Amanda terangkat, heran. Darimana anak ini muncul? Ya sudahlah, yang penting permainan bisa tetap berlanjut. Kedua kakinya terus melangkah mundur hingga tiba di tempat semula, dan sang peluit lagi-lagi ditiup--waktunya tendangan bebas dilaksanakan. Jeritan peluit terhenti tepat bersamaan dengan jatuhnya setetes air, menimpa hidungnya. Satu tetes lagi, kali ini untuk kepala. Tiga menyusul. He?

Hujan.

Labels: ,


6:22 PM